Setelah perilisan film pertamanya itu, alih-alih mendapat pujian karena berhasil meraih kesuksesan, Sedap Malam justru dinilai belum tergolong sebagai karya seni yang tidak terlalu bernilai.
Padahal, sebelum debut sebagai seorang sutradara, Ratna Asmara sudah berkecimpung di dunia peran selama lebih dari 10 tahun sebagai pemain teater.
Kala itu, Ratna dan sang suami bergabung dalam kelompok sandiwara, yakni Dardanella, yang merupakan salah satu kelompok teater terbesar di era kolonial.
Ratna juga sempat berakting di sejumlah film karya suaminya, misalnya saja Kartinah (1940), Noesa Penida (1941), dan Ratna Moetoe Manikam (1941).
Kendati menuai kritik tajam mengenai karya pertamanya, Ratna tetap tak patah semangat dan kembali dengan karya-karya lainnya.
Beberapa film lainnya yang disutradarai oleh Ratna Asmara antara lain Musim Bunga di Selabintana (1951), Dr. Samsi (1952), Nelajan (1953), dan Dewi dan Pemilihan Umum (1954).
Di tahun 1953, dikutip dari Twitter Cinemalinea, Ratna mendirikan Ratna Films, yang kemudian berubah nama menjadi Asmara Films.
Sepanjang kariernya sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia, Ratna Asmara sering kali mengangkat tema sosial kemasyarakatan.
Baca Juga: Kiprah Nia Dinata, Sutradara Perempuan Indonesia yang Berhasil Raih Banyak Prestasi
Perjuangan seorang Ratna Asmara di industri perfilman Indonesia tentunya terukir sebagai sejarah yang harus selalu diingat.
Berkatnya, kini perempuan sudah banyak terlibat dalam perkembangan dunia perfilman nasional, baik itu sebagai sutradara ataupun peran lainnya. (*)