Parapuan.co - Penilaian diri terhadap tubuh seorang perempuan tidak dapat dilepaskan dari faktor lingkungan di sekitarnya.
Di masyarakat, terdapat standar kecantikan yang mencirikan tubuh ideal perempuan, seperti bertubuh langsing, rambut panjang, hingga kulit putih.
Berbagai standar kecantikan itu tentu tidaklah realistis mengingat perempuan memiliki tubuh, warna kulit, dan jenis rambut yang beragam.
Namun, standar kecantikan ini telah berada begitu lama hingga sampai ke media sosial.
Hal ini membuat perempuan sering kali kesulitan dalam menampilkan diri apa adanya.
Dampaknya dapat membuat perempuan menilai tubuh mereka secara negatif yang tak jarang mengakibatkan ketidakpuasan terhadap tubuh sendiri, bahkan hingga ke tingkat depresi.
Berangkat dari masalah ini, kampanye body positivity hadir untuk meningkatkan rasa percaya diri, memperbaiki kesehatan mental, dan kesehatan fisik bagi setiap orang yang mengalami masalah pada citra tubuhnya.
Menurut riset PARAPUAN terhadap 771 responden perempuan berusia 18-35 tahun, banyak responden memiliki tingkat body positivity yang sedang (51,4%).
Namun, responden yang dengan tingkat body positivity yang rendah (38,7%) masih lebih banyak dibanding yang memiliki tingkat body positivity tinggi (10%).
Baca Juga: Menurut Riset, Media Sosial Berpengaruh dalam Penerapan Body Positivity
Dalam membentuk penilaian terhadap citra tubuh, media sosial ternyata cukup berpengaruh pada sebagian besar responden.
Responden dengan tingkat body positivity rendah cenderung merasa media sosial/media massa “berpengaruh” terhadap cara mereka menilai citra tubuh sendiri (35,6%).
Sebaliknya, responden dengan “tingkat body positivity yang tinggi” cenderung merasa media sosial/media massa “tidak berpengaruh” terhadap cara mereka menilai citra tubuh sendiri (28,6%).
Sedangkan, responden dengan “tingkat body positivity yang sedang” cenderung merasa media sosial/media massa “agak berpengaruh” terhadap cara mereka menilai citra tubuh sendiri.
Sebagian besar responden merasa tidak puas dengan tubuh sendiri setelah menggunakan media sosial/media massa dengan berbagai alasan.
Adapun alasannya karena mereka takut tertinggal/takut tidak mampu mengikuti tren kecantikan yang ada (34,2%), merasa tidak sesuai dengan standar kecantikan yang ada (28,3%), dan menganggap bahwa kecantikan bisa menjadi privilege dalam hidup (28,2%).
Tidak dapat dimungkiri, ada berbagai hal seperti pernyataaan dan komentar mengenai tubuh perempuan dalam media sosial tak dapat dihindari.
Namun, terdapat berbagai cara yang dihadapi masing-masing perempuan untuk menghadapi pengaruh media sosial/media massa itu.
Cara yang paling banyak dilakukan responden dalam menghadapi pengaruh media sosial/media massa ini antara lain berdamai dengan situasi (56,6%), mengatakan hal-hal baik kepada diri sendiri (52,9%), dan mencari sumber/referensi yang bisa meningkatkan kepercayaan diri (42,9%).
Baca Juga: Menurut Riset Diri Sendiri Menjadi Pengkritik Fisik Paling Besar, Mengapa?
Sebagian kecil lainnya (38,4%) memilih berhenti mengikuti atau meng-unfollow akun medsos yang dianggap berefek negatif.
Sebanyak 17,4% memilih mengurangi atau berhenti sepenuhnya menggunakan medsos.
Sementara hanya 12,6% yang memilih bercerita pada orang lain yang dipercaya.
Ini menjadi hal yang dapat dikritisi bagaimana media sosial berdampak pada gerakan body positivity itu sendiri.
Melalui hal ini, kita bisa belajar bahwa banyak berbagai informasi di media sosial, baik positif maupun negatif.
Akan tetapi, Kawan Puan juga bisa mengendalikan pola pikir dengan memilih informasi yang akan masuk ke diri kita.
Selain itu, penting bagi Kawan Puan untuk mencintai diri sendiri. Ingat, kamu berharga bagaimana pun kondisinya, ya. (*)