Parapuan.co - Band metal perempuan asal Garut, Jawa Barat, Voice of Baceprot (VoB), sejak pertengahan tahun 2021 lalu tengah naik daun.
Bagaimana tidak, band yang terdiri dari tiga personel itu telah melanglang buana ke dunia musik internasional.
Trio yang terdiri dari Firdda Marsya Kurnia (vokal dan gitar), Widi Rahmawati (bass), dan Euis Sitti Aisyah (drum) itu juga menjadi sorotan karena ketiga anggotanya mengenakan hijab.
Baru-baru ini, VoB berkesempatan untuk hadir sebagai tamu undangan di Podcast Cerita Parapuan untuk menceritakan perjuangannya dalam mewujudkan mimpi.
Seperti apa kisah ketiga personel Voice of Baceprot hingga dikenal masyarakat luas saat ini? Tanpa berlama-lama lagi, yuk simak ceritanya berikut ini!
Kerap alami tantangan dan stigma
Berawal dari teman satu sekolah sejak masih duduk di Madrasah Tsanawiyah (MTs), perjalanan VoB dimulai di klub teater sekolah di mana mereka pertama kali berperan sebagai anggota band untuk salah satu pertunjukan.
Nama ‘baceprot’ sendiri dipilih dari bahasa Sunda yang berarti ‘berisik’, sebuah kata yang merepresentasikan musik metal yang identik dengan suara keras.
Saat pertama kali membentuk band metal ini dalam bimbingan salah satu pelatih teater sekaligus guru konseling di sekolahnya, Erza Satia atau yang akrab disapa Abah, tak jarang mereka mendapatkan pertentangan dari sekitar.
Baca Juga: Berawal dari YouTube hingga ke Wacken Open Air, Ini Perjalanan Karier Voice of Baceprot
Bahkan saat berlatih di studio musik sekolah, ketiganya harus bergantian menjaga pintu depan ruangan agar tidak diganggu oleh murid lainnya.
“Karena, kan, dulu itu studio kita enggak punya peredam (suara), itu, kan, di sekolah, jadi sudah ruangannya kecil, bergema pula. Jadi pas Sitti pukul drum itu suaranya kencang, sampai ke jalan raya kedengaran. Orang-orang suka datang, yang tinggal di sekitar sekolah atau guru-guru juga,” kenang Marsya kepada PARAPUAN beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, ketiga perempuan berhijab itu tak jarang mengalami stigma dari orang sekitarnya, tak terkecuali orang terdekatnya, sebab band, terutama metal, masih identik dengan laki-laki.
“Di sana, kan, belum umum perempuan main band, jadi stigmanya masih band itu untuk laki-laki,” lanjutnya lagi.
“Karena mungkin di sana musik metal itu belum umum. Di kampung anggapannya kalau musik metal pasti pergaulannya juga bebas,” ujar Sitti.
Marsya juga mengaku sering mendengar komentar bahwa perempuan tak seharusnya bermain alat musik seperti gitar.
“Orang-orang banyak yang bilang perempuan itu enggak enak dilihat bawa-bawa gitar ke mana-mana, dibilangnya ‘kayak pengamen, ya?’,” katanya lagi.
Sempat dilarang orang tua untuk bermusik
Tantangan yang dialami Marsya, Widi, dan Sitti tak hanya datang dari orang luar, tetapi keluarga ketiganya juga sempat menentang keputusan mereka untuk bermusik.
Baca Juga: Cerita Voice of Baceprot Jadikan Musik sebagai Ruang Aman untuk Bersuara
Sitti bercerita, perjalanannya hingga mendapatkan izin dari keluarga, terutama sang kakak, tidaklah mudah.
Setelah bertahun-tahun bermusik bersama kedua rekannya sebagai VoB dan aktif mengikuti berbagai festival, baik di dalam maupun luar kota, ia baru mendapatkan restu ketika nama VoB mulai dibahas di berbagai stasiun televisi.
“Pada akhirnya dia izinin saat kita sudah sering masuk TV, di kampung jadi viral dan akhirnya dia mikir ‘oh ternyata adik aku enggak melakukan hal negatif’,” cerita Sitti sambil tersenyum.
Begitupun dengan Marsya, latar belakang keluarganya yang kental dengan agama, membuatnya harus berjuang lebih keras untuk melunakkan hati kedua orang tuanya.
Marsya bercerita, “Keluarga aku sangat menolak. Sebenarnya untuk hal-hal lain yang aku lakuin keluarga aku itu apatis, tapi untuk urusan musik ini mereka keras menolak. Karena bisa dibilang lingkungan aku kental dengan agamanya.”
Namun, berbeda dengan kakak Sitti, orang tua Marsya mulai bisa menerima hobi sang anak ketika melihat langsung anaknya tampil di atas panggung saat perpisahan sekolah.
“Sampai akhirnya mamaku datang ke perpisahan sekolah dan lihat sendiri aku manggung, baru ‘oh, gini ternyata?’. Setelah itu jadi enggak sekeras sebelumnya,” jelasnya.
Sementara itu, Widi mengaku ia sempat dianggap sebagai anak nakal oleh kedua orang tuanya lantaran sering pulang terlambat karena harus latihan.
Pasalnya memang, perempuan yang merupakan bassist VoB itu sebelumnya dikenal sebagai anak pendiam yang jarang bermain.
Baca Juga: VOB Ungkap Pernah Dilarang Orang Tua Main Musik Metal, Diminta Ikuti Jejak Lesti Kejora
“Awalnya baik-baik saja, tapi makin ke sini, karena sering pulang telat dan sering bawa kabel ke rumah, ikut festival, aku dinilai bandel,” kenang Widi ketika mendapat giliran bercerita.
Arti musik bagi personel Voice of Baceprot
Bagi ketiga anggota VoB, musik merupakan salah satu medium untuk melampiaskan emosinya dengan bebas.
Terutama bagi Widi yang mengaku sangat senang ketika dapat bergabung dengan band ini dan memiliki tempat yang dapat menerimanya sekaligus menghargainya.
“Jadi kita dulu itu korban bully. Dulu Widi masuk musik karena merasa dirinya punya ruang yang menganggap dia ada, menganggap dia punya kemampuan dan potensi yang dihargai. Jadi suaranya lebih didengar di situ,” jelas Marsya mewakilkan Widi.
Karena hal inilah, ketika mereka dihadapi oleh berbagai tantangan dari dalam dan luar, ketiga perempuan asal Garut itu tak pernah menyerah dan patah semangat.
Sebab, bagi mereka, musik merupakan sumber kebahagiaan, di mana mereka bisa bebas berekspresi tanpa harus dihakimi oleh siapapun.
“Mungkin kalau semangat itu datang dari perasaan kita bahwa kebahagiaan kita itu datangnya dari musik. Kalau bisa main musik, kita merasa diri kita itu berharga banget dan kalau kita mainin apa saja, orang di musik itu enggak judge kita,” tutup Marsya.
Baca Juga: Cerita Widi Voice of Baceprot Jadikan Musik Sebagai Jalan Keluar dari Bullying
Kawan Puan, itulah kisah perjuangan Voice of Baceprot (VoB) yang untuk mencapai titik sebagai band metal internasional saat ini. Keren sekali, ya, ketiga perempuan ini! (*)