Parapuan.co - Perubahan budaya kerja selama pandemi telah menghadirkan konsep kerja baru yang diterapkan oleh berbagai perusahaan saat ini, salah satunya ialah hybrid working.
Meskipun pada awalnya konsep hybrid working ini diterima dengan senang hati oleh sebagian besar karyawan, nyatanya kini banyak yang mengeluhkan budaya kerja ini.
Secara keseluruhan, sistem kerja hybrid memang menawarkan kesepakatan terbaik untuk karyawan dan pihak perusahaan.
Bahkan pada sebuah studi yang dilakukan oleh Accenture pada Mei 2021 lalu, sebanyak 83 persen responden mengaku ingin bekerja secara hybrid setelah pandemi berakhir.
“Ada perasaan bahwa hybrid working merupakan opsi terbaik untuk kedua belah pihak. Untuk atasan, konsep ini berarti mereka tetap bisa mengontrol karyawannya secara langsung. Bagi karyawan, ini menawarkan lebih banyak fleksibilitas,” ujar Elora Voyles, psikolog dan people scientist di Tinypulse, dikutip dari BBC, Kamis (26/5/2022).
Namun, seiring berjalannya waktu, antusiasme para karyawan terhadap hybrid working kian memudar.
Tahun 2021 lalu, banyak perusahaan yang menerapkan konsep hybrid working, namun ternyata mengalami kesulitan seiring penerapannya.
Tak hanya itu saja, para karyawan juga banyak yang merasa kelelahan hingga stres akibat konsep kerja ini.
Dalam survei yang dilakukan oleh Tinypulses terhadap 100 pekerja di dunia, 72 persen karyawan dilaporkan mengalami kelelahan karena hybrid working, di mana jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari mereka yang bekerja penuh waktu secara remote dan dari kantor.
Baca Juga: Hybrid Work, Budaya Kerja Masa Depan yang Perlu Fresh Graduate Tahu
Voyles mengatakan, hybrid working menyebabkan terjadinya gangguan pada rutinitas harian karyawan, sehingga hal ini menyebabkan para karyawan rentan merasa kelelahan.
“Rutinitas yang konsisten dan dapat diprediksi dapat membantu orang mengatasi perasaan stres dan ketidakpastian, khususnya selama pandemi,” imbuh Voyles.
“Akan tetapi, hybrid working menyebabkan seringnya terjadi perubahan pada kebiasaan sehari-hari, sehingga karyawan harus terus menyesuaikan diri dengan keadaan. Dengan kata lain, mereka sulit menemukan rutinitas yang konsisten,” sambungnya.
Seorang psikolog lainnya dari British Psychological Society, Gail Kinman, mengatakan hal yang senada.
Menurutnya, sistem kerja campuran ini berpotensi mengganggu rutinitas pekerjaan rumah seseorang, sehingga karyawan yang bekerja hybrid membutuhkan energi dan perencanaan yang besar.
Membawa pekerjaan bolak-balik, dari rumah ke kantor dan sebaliknya, juga dapat berdampak secara psikologis bagi sebagian orang.
Laporan dari Samsung yang bertajuk Hybrid Living Futures, menunjukkan sebanyak 20 persen pekerja di Inggris mengalami kesulitan beralih dari pekerjaannya.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan para karyawan kesulitan bekerja secara hybrid adalah tidak adanya batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Baca Juga: Menurut Pakar, Ini 6 Cara Menjaga Produktivitas di Lingkungan Kerja Hybrid
Bagi perusahaan yang menerapkan hybrid working, namun tidak bisa mempercayai karyawannya, hal ini bisa menimbulkan tekanan di kalangan karyawan.
“Akibatnya, karyawan rentan bekerja secara berlebihan dan kerap mengalami burnout,” kata Kinman.
Walaupun begitu, Voyles mengungkap bahwa hybrid working masih bisa diterapkan, selama perusahaan menerapkannya dengan benar.
“Baik perusahaan maupun karyawan perlu menetapkan batasan. Tetapi perlu ada otonomi bagi pekerja untuk mengatur jadwal mereka sendiri. Fleksibilitas perlu ditentukan oleh individu, bukan atasan,” tegasnya.
Selain itu, mereka yang bekerja secara hybrid perlu pengaturan kerja yang jauh lebih baik agar dapat meringankan pergeseran psikologis antara kantor dan rumah.
“Jadi ada peluang besar untuk mengubah cara kerja ini. Kuncinya adalah agar kedua belah pihak dapat diuntungkan dan konsep ini disepakati oleh pihak karyawan dan atasan,” tambah Kinman. (*)