“Transisi energi ini tentunya membutuhkan dukungan pendanaan yang besar. Negara-negara G20 yang berkontribusi 80% perekonomian dunia, diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap proses transisi ini. Ada beberapa prioritas utama yang mesti dikedepankan dalam transisi energi ini seperti aksesibilitas, teknologi dan pendanaan,” ujar Shinta.
Shinta mengatakan sejumlah pelaku usaha lintas sektor berkomitmen untuk mengubah perilaku usaha sebagai dukungan terhadap transisi energi di Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung target pemerintah dalam mencapai nol emisi karbon pada 2060 dan perlu adaptasi secara bertahap.
Tak hanya industri, negara juga akan menanggung beban berat apabila transisi energi tidak dilakukan.
Jika pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen tiap tahunnya, konsumsi energi akan bertambah terus membuat cadangan devisa habis untuk biaya impor bahan bakar fosil demi kebutuhan dalam negeri.
Deputy Chair Energy, Sustainability & Climate Task Force Agung Wicaksono mengakui perlu waktu untuk mengubah ketergantungan dari penggunaan energi fosil ke EBT.
Selain itu, tantangan lain dalam upaya transisi energi adalah membangun ekosistem bisnis yang inklusif dan berkelanjutan.
Ini semua membutuhkan pendanaan yang sangat besar dan kolaborasi bersama dengan komitmen yang tinggi.
"Negara-negara berkembang yang ketergantungan energi fosilnya masih cukup tinggi tidak bisa serta merta langsung switch ke energi terbarukan. Butuh fase dan transisi. Kita perlu memikirkan juga akses bagi masyarakat yang rentan terhadap energi. Jangan sampai fase perpindahan dari energi fosil ke energi terbarukan justru menutup akses masyarakat rentan, karena tinggi atau mahalnya biaya energi bersih,” ujar Managing Director PT Jababeka Infrastruktur tersebut.
Agung melanjutkan, Energy, Sustainability & Climate Task Force mendorong rekomendasi kebijakan transisi energi yang tetap ramah bagi masyarakat rentan untuk dapat menikmati energi yang murah, bersih dan berkualitas.