Parapuan.co - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada 11 Juli 2022 sempat membuat wacana kebijakan pemisahan tempat duduk di angkot, pasca kasus pelecehan seksual yang viral di media sosial.
Melansir dari Kompas.com, kala itu ada seorang perempuan yang diduga mengalami pelecehan seksual di angkot.
Video dugaan pelecehan seksual di dalam angkot M44 dari kawasan Tebet ke arah Kuningan, Jakarta Selatan itu pun viral di media sosial.
Dalam keterangan yang ada di video, korban mengaku dilecehkan oleh penumpang laki-laki yang duduk dekat dirinya di dalam sebuah angkot.
Korban dilecehkan dengan diraba bagian dada oleh pelaku yang duduk di sebelahnya.
Untuk menutupi aksinya, pelaku meletakkan sebuah tas di pangkuannya agar saat tangannya bergerak, tidak ada yang melihat.
Saat menyadari tangan pelaku melakukan pelecehan seksual, korban langsung menepis.
Korban kemudian pindah tempat duduk dan merekam terduga pelaku itu. Ia kemudian melapor ke Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Selatan.
Berangkat dari kejadin tersebut, Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengatakan bahwa akan ada kebijakan pemisahan tempat duduk di angkot.
Baca Juga: Viral Kasus Pelecehan Seksual di Angkot, Wacana Pemisahan Tempat Duduk Perempuan Jadi Polemik
Menurutnya, memisahkan tempat duduk penumpang perempuan dan laki-laki di angkot akan berkontribusi dalam menekan risiko kekerasan maupun pelecehan seksual di transportasi umum.
Namun, selang beberapa hari setelahnya, wacana kebijakan pemisahan tempat duduk itu dicabut.
Syafrin Liputo mengatakan bahwa mempertimbangkan kondisi masyarakat saat ini, wacana kebijakan tersebut belum dapat dilaksanakan.
Melihat wacana pemisahan tempat duduk di angkot untuk penumpang perempuan dan laki-laki demi menekan risiko terjadinya tindak pelecehan seksual, PARAPUAN mencoba menghubungi LBH APIK.
LBH APIK adalah Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan yang banyak melakukan pendampingan dan bantuan hukum untuk perempuan, termasuk mereka yang mengalami pelecehan seksual.
Dian Novita, Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta menyebutkan bahwa wacana kebijakan pemisahan tempat duduk di angkot sebenarnya tidak efektif.
Pasalnya, menurut dia penyebab dari adanya atau terjadinya pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat umum, termasuk angkot adalah karena adanya pelaku.
"Kalau kita ngomongin penyebab kekerasan seksual di angkot itu apa sih, itu justru kekerasan seksual di angkot itu ya sudah, pelaku, karena pelaku masih berpikiran ada orang lain yang bisa dia jadikan korban, itu saja," ujarnya saat dihubungi PARAPUAN, Jumat, (22/7/2022).
Adanya pelaku pelecehan seksual terhadap perempuan ini pun didorong oleh mindset, dan itu tidak terjadi karena perempuan dan laki-laki duduk di bersebelahan di dalam angkot.
Baca Juga: Ramai Wacana Angkot Khusus Perempuan, Ini Tips Aman Naik Transportasi Umum untuk Kaum Hawa
"Bicara terjadi kekerasan seksual itu bukan hanya ketika laki-laki dan perempuan duduk berselebahan," terang Dian.
"Kekerasan seksual itu kan, ada di mindset, ada di pola pikir, ada di perspektif, bagaimana ketika perspektif seseorang menganggap bahwa orang lain itu bisa dia perlakukan, tubuh orang lain bisa ia perlakukan dengan semena-mena," ujarnya menambahkan.
Oleh karena pelecehan seksual di angkot maupun tempat umum terjadi karena mindset seseorang yang berpikir tubuh seseorang bisa diperlakukan seenaknya, di mana dalam hal ini relasi kuasa turut ikut berperan, maka Dian menganggap yang harus diubah adalah mindset.
Dengan begitu, ketika yang harus diubah adalah mindset, maka wacana kebijakan pemisahan tempat duduk di angkot menjadi tidak efektif karena bisa jadi meskipun sudah dipisah, kekerasan tetap terjadi jika pelaku punya mindset untuk melecehkan orang lain.
Dian menyarankan bahwa yang harus diubah adalah mindset untuk menjadi pelaku pelecehan seksual, termasuk mindset untuk melecehkan orang lain.
Selain itu, penting pula untuk menghapus budaya yang justru sering sekali tidak berpihak pada korban, termasuk menyalahkan korban yang dianggap memicu terjadinya kekerasan seksual, hingga budaya yang tidak menghargai tubuh orang lain.
"Sebenarnya itu (mindset) yang harus diubah, bukan justru pemisahan tempat duduk di angkot dan lain sebagainya," ujar Dian.
"Karena kan, belum tentu juga orang kemudian dia duduk bersamaan di ruang yang sama, kemudian dia punya keinginan untuk melakukan kekerasan seksual pada orang," tegasnya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menekan risiko terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan di tempat umum termasuk angkot, jika pemisahan tempat duduk bukan solusi efektif?
Dian mengatakan bahwa ada beberapa kebijakan maupun upaya nyata untuk mengubah mindset masyarakat sehingga tidak menjadi pelaku maupun berniat melecehkan orang lain.
Kebijakan ini dinilai akan efektif membantu korban dan berpihak pada korban pelecehan seksual.
"Salah satunya membuat peraturan tentang, ada hotline yang bisa dihubungi ketika kamu mengalami kekerasan seksual misalnya, jadi itu ditaruh di angkot, dia harus menghubungi siapa," ujarnya.
"Lalu memberikan sanksi apa segala macam, kalau terjadi kekerasan seksual, ada UU yang harus kamu perhatikan misal UU TPKS, atau Pemprov memberikan penyuluhan-penyuluhan terhadap driver tentang tindak kekerasan seksual," ucap Dian.
Kawan Puan, apabila kamu melihat maupun menjadi korban pelecehan seksual di angkutan umum, kamu bisa menghubungi POS Sahabat Perempuan dan Anak (POS Sapa) di nomor aduan 112.
POS Sapa sekarang ini tersedia di 23 halte Transjakarta, 13 stasiun MRT, dan 6 stasiun LRT.
Baca Juga: Ini Cara Agar Kamu Terhindar dari Pelecehan Seksual di Tempat Umum
(*)