Parapuan.co – Belakangan ini makin banyak brand-brand kecantikan lokal yang menjadikan artis dari Korea Selatan sebagai brand ambassador.
Para selebritas Korea yang terdiri dari aktor dan aktris ternama, serta bintang grup K-Pop yang tengah naik daun, berbondong-bondong menjadi wajah dari brand kecantikan lokal.
Hal ini pun disambut antusias bukan hanya oleh penggemar K-Pop atau K-Drama, tapi juga oleh para beauty enthusiast di Tanah Air.
Banyak yang menyambutnya dengan suka cita, karena menjadi hal yang baru terjadi brand lokal memiliki brand ambassador dari Korea Selatan.
Bahkan ada yang menilai kini tren kecantikan tak lagi hanya bermuara dari negara-negara di bagian barat dunia, tapi juga dari Asia.
Sehingga perubahan tren ini pun disambut antusias oleh masyarakat yang melihat tren kecantikan yang bergeser dari Barat ke Asia karena dampak gelombang Korea atau Korean Wave (hallyu) sebagai sebuah kemajuan.
Namun di sisi lain, ternyata fenomena ini juga menimbulkan kekhawatiran baru.
Terlepas dari semakin majunya industri kecantikan lokal, fenomena Korean wave yang masuk ke Indonesia juga dianggap bisa memengaruhi standar kecantikan.
Hal ini disampaikan dalam Diskusi Konde.co bertajuk Trend Kecantikan Bergeser dari Barat ke Korea: Dimana Posisi Perempuan? yang diadakan secara virtual pada 29 Juli 2022 lalu.
Baca Juga: Nyaman dengan Kecantikan Versi Sendiri, Minimal Rilis Koleksi yang Dukung Body Positivity
Disampaikan oleh Widia Primastika, Editor Konde.co, bahwa ada dampak negatif yang mungkin terjadi dari fenomena ini.
Yaitu akan membentuk standar kecantikan baru, seperti kulit putih, glowing, halus, dan kurus.
"Kalau dulu tone putihnya ke (negara-negara) barat, sekarang putihnya itu ke Korea. Tapi tetap putih. Bahwa cantik itu putih, glowing, kulit halus dan kurus," ujar perempuan yang akrab dipanggil Tika.
Tak sampai di situ, berdasarkan penilaian Tika, fenomena ini juga menimbulkan adanya body shaming dalam bentuk baru.
"Kemudian muncul body shaming. Kalau tidak glowing, maka dianggap tidak mencintai diri sendiri dan tidak merawat diri," ujarnya lagi.
Standar Kecantikan Kata Kawan Puan
Melihat hal ini, PARAPUAN pun berbincang dengan sejumlah Kawan Puan untuk mengetahui pandangan mereka tentang pengaruh fenomena gelombang Korea terhadap standar kecantikan di masyarakat.
Disampaikan oleh Astarini, seorang staf administratif, bahwa hallyu atau fenomena artis Korea yang jadi BA untuk brand kecantikan lokal, tak membuatnya merasa ia harus secantik seperti perempuan dari Negeri Ginseng tersebut.
"Aku memang menikmati drakor atau lagu-lagu K-Pop yah, tapi bukan berarti aku jadi pengen kayak mereka. Lebih ke penikmat aja sih," jelasnya saat diwawancara PARAPUAN.
Baca Juga: Rebonding sejak Usia 9 Tahun, Ini Kisah Gracia Indriani Dobrak Standar Kecantikan dengan Kriwil
Kendati demikian, ia tak menutup mata bahwa nyatanya masih ada orang yang menganggap 'cantik itu putih' seperti halnya bagaimana perempuan Korea kerap digambarkan dalam drama ataupun citra diri personil girlband K-Pop.
Diceritakan olehnya juga, bahwa kerabat jauhnya yang berada di daerah, masih banyak yang menjadikan kulit putih sebagai 'skin goal' mereka.
"Jujur aja, masih banyak teman atau keluarga di kampungku yang menilai cantik itu yah putih mulus. Apalagi sekarang kan drakor atau girlband K-Pop banyak penggemarnya di sini (Indonesia), jadi yah impian mereka bisa kayak si artis-artis Korea ini," ujar Rini.
Bahkan menurutnya, banyak kerabatnya tersebut yang lebih tertarik menggunakan skincare dengan label 'whitening' demi bisa memenuhi ekspektasi memiliki kulit putih.
"Sedihnya, di daerah tuh skincare yang ada embel-embel whitening-nya lebih laku dibandingkan yang biasa," ujar Rini lagi berdasarkan analisanya.
Sayangnya memang, belum ada data atau penelitian yang bisa membuktikan bahwa orang di luar kota besar atau daerah cenderung lebih tertarik untuk membeli produk skincare dengan label pemutih.
Namun ia tetap menyayangkan bahwa masih banyak orang yang terjebak dengan 'standar kecantikan' semu, sementara kecantikan perempuan Indonesia justru lebih beragam dan berwarna.
Sementara itu, Anita Lutfi, seorang mahasiswi dan beauty enthusiast, punya pandangan yang berbeda, yang mana ia menilai bahwa fenomena artis Korea yang jadi brand ambassador produk kecantikan lokal hanyalah teknik marketing semata.
"Mereka (brand kecantikan lokal) memilih BA artis Korea karena tahu di Indonesia pasti banyak penggemarnya. Jadi biar brand-nya lebih dikenal dan produknya laku dibeli sama si penggemar-penggemarnya ini," cerita perempuan yang akrab dipanggil Nita.
Baca Juga: 5 Influencer Ini Pernah Alami Body Shaming, Dinilai Tak Penuhi Standar Kecantikan
Dengan kata lain, pemilihan BA dari kalangan artis Korea tersebut hanyalah teknik pemasaran untuk meningkatkan brand awareness dari brand kecantikan lokal itu sendiri.
Pasalnya, Nita menilai bahwa masyarakat modern kini sudah lebih pintar dan rasional dalam menilai sesuatu, sehingga BA dari kalangan artis Korea tidak serta merta akan mendorong konsumen untuk memiliki kulit putih seperti selebritas tersebut.
"Yah kita rasional aja sekarang. Kulit kita kan sawo matang, mau digimanain juga enggak bakal berubah putih kaya orang Korea," tambahnya lagi kepada PARAPUAN.
Anita pun mengaku tak khawatir dengan akan berubahnya standar kecantikan di masyarakat hanya karena adanya fenomena penggunaan artis Korea sebagai BA dari brand kecantikan lokal atau Korean wave sekalipun.
Justru ia menilai perempuan Indonesia saat ini lebih bisa menilai makna cantik dengan lebih terbuka.
"Kalau aku perhatikan, setidaknya di circle terdekatku deh yah, kita makin PD dengan warna kulit kita, atau tubuh kita. Bahkan sekarang di medsos juga makin banyak yang PD juga share mukanya bareface, padahal lagi jerawatan," papar Nita lagi optimis.
Ia pun berharap bahwa paparan gelombang Korea tak akan mengubah kepercayaan diri perempuan Indonesia terhadap kecantikan versi mereka sendiri.
Apa yang disampaikan oleh Astarini dan Anita Lutfi hanyalah sepercik gambaran tentang bagaimana pengaruh gelombang Korea terhadap standar kecantikan.
Namun, terlepas dari pro dan kontra yang mewarnainya, kita tak dapat menutup mata bahwa standar kecantikan tersebut masih ada di sekitar kita dan menjadi hal yang membatasi perempuan untuk bisa menerima dirinya sendiri.
Baca Juga: Dobrak Standar Kecantikan, Ini 5 Brand Fashion Internasional yang Dukung Body Positivity
Lantas, bagaimana posisi perempuan seharusnya dalam menghadapi pergeseran tren kecantikan dari Barat ke Korea dan pengaruhnya terhadap standar kecantikan?
Perempuan Punya Pilihan
Menanggapi hal tersebut, Widi Lestari Putri, lulusan S2 Kajian Gender UI, dalam acara Konde yang juga disaksikan PARAPUAN menuturkan bahwa gelombang Korea yang masuk ke Indonesia, tak serta merta selalu berdampak negatif.
"Gelombang Korea ini masuk di satu sisi bisa jadi baik karena perempuan jadi memiliki banyak referensi tentang bentuk kecantikan, tentang standar kecantikan, tentang narasi kecantikan," ujar Widi.
Namun ia juga mengingatkan bahwa standar kecantikan bukanlah sesuatu yang baku.
"Kita bisa memilih mau mengikuti atau enggak. Begitu kita bisa memilih sendiri, untuk mau mengikuti (standar kecantikan) atau enggak, itu menurut saya pembebasan yang sebenarnya untuk perempuan itu sendiri. Walaupun prosesnya akan sangat painful," ujarnya.
Dengan kata lain, terlepas dari terciptanya 'standar kecantikan baru' yang dipengaruhi oleh Korean wave, perempuan tetap punya kebebasan untuk mengontrol narasi kecantikan dirinya sendiri.
Perempuan punya kehendak sendiri memilih untuk merujuk pada nilai 'kecantikan' manapun, selama dia berkehendak tanpa adanya tekanan dari luar.
"Kontrolnya ada pada diri kita sendiri sebagai perempuan, sebagai individu dan subjek atas diri kita sendiri, yang bisa memagari dari hal-hal semacam itu," tutup Widi.
Bagaimana menurut Kawan Puan? Apakah dengan hadirnya Korean wave juga mendorongmu untuk mengikuti standar kecantikan ala Negeri Ginseng dengan ciri khas kulit putih dan glowing?
Sampaikan pandanganmu di kolom komentar yah.
(*)
Baca Juga: Curi Perhatian Karena Bentuk Tubuhnya, Ini Gaya Miss Universe Thailand 2021