Berkat koneksi Achmad Soebarjo, para tokoh bersembunyi di rumah Laksamana Tadashi Maeda, perwira penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta.
Kemudian Maeda mengusulkan agar Soekarno, Hatta dan Achmad Soebarjo menemui Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, kepala staf Tentara Angkatan Darat ke-16 yang menjadi kepala pemerintahan militer Jepang di Hindia Belanda atau yang disebut Gunseikan.
Namun Yamamoto tidak menerima kedatangan Soekarno-Hatta yang diantar oleh Laksamana Maeda.
Ia justru memerintahkan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.
Namun sayangnya, kondisi berubah dan banyak syarat yang diajukan oleh Jenderal Nishimura.
Akhirnya muncul ide untuk menggunakan rumah Laksamana Muda Maeda sebagai lokasi persiapan kemerdekaan.
Rumah Laksamana Maeda dipilih karena berada di wilayah Angkatan Laut Jepang sehingga tentara Jepang tidak bisa memasuki sembarangan.
Pada (16/8/1945) pukul 22.00, Achmad Soebardjo, Soekarno dan Hatta meminta izin kepada Laksamana Maeda untuk menggunakan rumahnya sebagai lokasi persiapan kemerdekaan.
Usai Maeda mengizinkan, para pemuda berinisiatif menjemput anggota PPKI dari berbagai daerah.
Setelah proklamasi dibacakan, Laksamana Maeda harus menanggung konsekuensi berat lantaran mengizinkan rumahnya menjadi tempat perumusan naskah proklamasi.