Parapuan.co - Alat kontrasepsi darurat sangat krusial untuk diberikan kepada perempuan korban kekerasan seksual berupa perkosaan dalam kurun waktu 72 jam.
Pasalnya, 72 jam adalah periode emas di mana alat kontrasepsi darurat bekerja maksimal untuk mencegah kehamilan.
Ketika alat kontrasepsi darurat ini tidak segera diberikan kepada perempuan korban perkosaan, maka efektivitas kontrasepsi tersebut menurun.
Pada akhirnya, perempuan korban perkosaan harus menghadapi risiko kehamilan tidak diinginkan (KTD) dari kejadian kekerasan seksual yang terjadi padanya.
Tentu, kita sebagai perempuan tidak ingin melihat korban kekerasan seksual harus menanggung beban fisik dan mental hamil akibat perkosaan.
Bayang-bayang perkosaan akan terus mengikuti penyintas sampai akhir hayatnya, bahkan traumanya tidak akan hilang jika ia sampai hamil dan melahirkan anak.
Lantas apa yang bisa dilakukan untuk menolong perempuan korban perkosaan?
"Akses ke kontrasepsi darurat. Kalau tidak mau aborsi, buka dong, ke kontrasepsi darurat untuk korban perkosaan," ujar dr. Marcia Soumokil, MPH, Direktur Yayasan IPAS Indonesia, saat ditemui PARAPUAN dalam acara Media Training and Pre-Conference ICIFPRH 2022 di Yogyakarta, Senin, (22/8/2022).
Marcia amat menekankan pentingnya akses ke kontrasepsi darurat bagi perempuan korban sebab perkosaan kerap kali berujung pada kehamilan penyintasnya.
Baca Juga: Bantuan yang Perlu Diberikan pada Korban Pemerkosaan, Salah Satunya Aborsi Aman
72 jam jadi golden period atau periode emas yang amat penting bagi korban perkosaan untuk mendapatkan pertolongan demi mencegah kehamilan.
Pasalnya apabila kehamilan sampai terjadi pada korban perkosaan, maka ini akan termasuk kehamilan yang tidak direncanakan.
Korban tidak pernah merencanakan untuk memiliki anak, namun terpaksa harus mengandung akibat perkosaan yang dialaminya.
Nah, di sinilah pentingnya bantuan berupa alat kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan pada korban perkosaan demi mencegah kehamilan tidak direncanakan.
Dalam kurun waktu 72 jam atau tiga hari, kehamilan sangat tinggi kemungkinannya untuk dicegah bila alat kontrasepsi darurat segera diberikan kepada korban perkosaan.
"Jadi memang kurang dari 72 jam itu kita punya cukup waktu sebenarnya untuk mencegah kehamilan apabila kekerasan seksual perkosaan terjadi hubungan seksual penetratif," jelas Marcia.
Satu hal yang perlu Kawan Puan tahu, aturan pemberian kontrasepsi darurat dalam kurun waktu 72 jam untuk korban perkosaan ini telah diatur oleh negara.
Lebih tepatnya, aturan terkait kontrasepsi darurat ini tertuang dalam pedoman yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan.
"Dalam waktu kurang 72 jam korban bisa kita berikan akses ke kontrasepsi darurat dan ini di dalam pedoman nasional layanan dan perujukan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan," terang Marcia lebih lanjut.
Baca Juga: Mengintip Bahaya di Balik Viralnya Kasus Kekerasan Seksual di Media Sosial dari Perspektif Korban
Namun sayangnya, akses ke kontrasepsi darurat bagi perempuan korban perkosaan ini masih sangat terbatas, Kawan Puan.
Terlepas sudah adanya pedoman yang dibuat oleh Kemenkes, perempuan korban perkosaan masih sulit mengaksesnya.
Alat kontrasepsi darurat tersebut tidak dengan mudah didapatkan oleh perempuan korban kekerasan seksual, bahkan ketika mereka mendatangan fasilitas kesehatan misalnya rumah sakit.
Salah satu alasannya adalah karena kontrasepsi darurat ini belum masuk daftar obat esensial nasional.
"Masalahnya adalah kontrasepsi darurat ini belum masuk obat esensial nasional yang kemudian ada di daftar esensial nasional bisa tersedia di seluruh faskes (fasilitas kesehatan)," jelas Marcia.
Penyebab mengapa alat kontrasepsi darurat belum masuk ke dalam obat esensial nasional adalah miskonsepsi tentang fungsinya untuk korban perkosaan.
Alat kontrasepsi darurat masih dianggap sebagai obat untuk aborsi sehingga belum dimasukkan ke dalam daftar obat esensial nasional di Indonesia.
Sehingga, itulah yang menjadi alasan mengapa perempuan korban perkosaan tidak bisa mengakses maupun mendapatkannya, karena memang belum terdaftar sebagai obat esensial nasional sebab dianggap obat aborsi.
"Dia (alat kontrasepsi darurat) tidak ada di daftar obat karena masih banyak miskonsepsi, bahwa alat kontrasepsi ini untuk aborsi. Padahal enggak, dia itu mencegah kehamilan, kontrasepsi," tegas Marcia.
Oleh karena terbatasnya akses alat kontrasepsi darurat, maka perempuan korban perkosaan tidak jarang sampai harus hamil dan bahkan sampai melahirkan.
Kalau sudah sampai di titik perempuan itu hamil, maka bentuk layanan yang harusnya tersedia adalah layanan aborsi aman, yang di Indonesia sendiri sampai dengan saat ini belum tersedia.
Baca Juga: Meski Berpayung Hukum, Perempuan Korban Perkosaan Belum Bisa Dapatkan Hak Aborsi Aman
(*)