Parapuan.co - Pada pertengahan Agustus 2022 lalu, Kementerian Perdagangan dan Perindustrian dengan lantang menyampaikan larangan impor baju bekas masuk ke Indonesia. Bahkan, Kemendag melakukan pemusnahan 750 bal baju bekas impor yang diperkirakan senilai Rp8,5 miliar (12/8/2022).
Seperti disampaikan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, pemusnahan ini adalah bentuk respons Kemendag untuk mengatasi impor perdagangan pakaian bekas ilegal.
Disampaikan oleh Mendag seperti melansir dari kompas.com bahwa pemerintah tak pernah melarang transaksi jual beli barang bekas, namun yang dilakukan Kemendag adalah untuk menekankan bahwa impor baju bekas dilarang.
"Kalau kita memang boleh jual barang bekas. Misalnya saya jual barang bekas ya boleh. Yang enggak boleh itu impor barang bekas," ujar Mendag Zulhas di sela-sela pembakaran pakaian bekas impor.
Untuk diketahui bersama, menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor, baju bekas adalah salah satu barang yang dilarang impornya.
Dalam aturan tersebut tertulis bahwa, "Pakaian bekas dikategorikan sebagai limbah mode dan dilarang untuk diimpor masuk karena terkait dengan aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan."
Parahnya lagi, menurut data BPS pada 2021 yang dilansir dari kompas.id, ada sekitar 8 ton baju bekas impor masuk ke Indonesia. Sementara menurut data negara eksportir via Trade Map mencatat ada 27.420 ton baju bekas yang diimpor ke Indonesia di tahun yang sama.
Terlebih lagi, berdasarkan hasil dari Balai Pengujian Mutu Barang, sampel baju bekas tersebut terbukti mengandung jamur kapang. Jamur kapang yang menempel di baju bekas tersebut pun bisa berdampak buruk bagi kesehatan para penggunanya, mulai dari gatal-gatal, reaksi alergi, hingga efek beracun iritasi.
Ditambahkan oleh Mendag, bahwa risiko ini bisa merugikan masyarakat termasuk melanggar ketentuan Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun pasal tersebut berbunyi, "Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud."
Baca Juga: 5 Rekomendasi Thrift Shop Jakarta, Bisa Dapat Pakaian Bekas Berkualitas Mulai Rp30 Ribuan
Terlepas dari tujuan Kemendag untuk melindungi masyarakat dari risiko-risiko tersebut, namun seperti yang kita ketahui bahwa industri thrifting atau jual beli baju bekas sangat bergantung pada impor tersebut. Padahal di sisi lain, industri thrifting di Tanah Air sedang berkembang sangat pesat.
Hal ini pun menimbulkan polemik di masyarakat, termasuk kekhawatiran pada dampak lingkungan dan keberlangsungan ekonomi bagi pelaku usaha thrifting. Namun, dengan adanya larangan dari pemerintah terhadap baju bekas impor, kiranya seperti apa dampaknya bagi lingkungan maupun industri?
Dampak Limbah Pakaian bagi Lingkungan
Tak dapat dimungkiri bahwa industri fashion adalah salah satu penyumbang terbesar kerusakan lingkungan. Berdasarkan data dari European Parliament bahwa 10 persen emisi karbon global dihasilkan dari produksi pakaian dan sepatu, serta 20 persen pencemaran air bersih global diakibatkan oleh produksi tekstil.
Ironisnya lagi, menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK), Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara 12 persen limbah rumah tangga. Dan dari keseluruhan limbah tekstil tersebut, hanya 0,3 juta ton saja yang bisa didaur ulang.
Maka sebenarnya, industri thrifting atau jual beli baju bekas bisa membantu meminimalisir kerusakan lingkungan akibat limbah pakaian. Karena dengan membeli dan mengenakan kembali baju bekas, maka bisa memperpanjang usia sebuah pakaian. Hal ini disampaikan oleh Aretha Aprilia, Head of Environment Unit UNDP Indonesia, yang menilai bahwa industri thrifting bisa mengurangi limbah pakaian.
"Kita melihat dari supply dan demand, ketika masyarakat purchasing power-nya mungkin agar sedikit berkurang selama pandemi, menyebabkan orang tidak mau spend too much money untuk pakaian baru. Maka thrift shopping bisa jadi salah satu alternatif. Di negara maju saya melihat sudah banyak seperti ini dan bagus dampaknya," jelas Aretha saat diwawancarai langsung oleh PARAPUAN.
Kendati demikian, Aretha menegaskan bahwa industri thrifting akan memberikan sumbangsih positif pada sustainable fashion, hanya jika berasal dari pasar domestik atau produk lokal. Dalam arti tidak melakukan jual beli baju bekas impor dari luar. Ia pun menyambut positif kebijakan pemerintah untuk melarang adanya impor baju bekas yang masuk ke Tanah Air.
"Ketika ada impor pakaian bekas yang kita terima, berarti itu kan ada juga yang tidak laku. Berarti kita harus mengirimnya ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) atau ke landfil. Jadi itu malah justru bisa membebani kita sebagai negara," ujar Aretha lagi.
Baca Juga: Jangan Langsung Dipakai! Ikuti 4 Cara Tepat Mencuci Baju Thrift
Di sisi lain Aretha berujar bahwa kebanyakan pakaian menggunakan material yang dicampur plastik, yang mana akan lebih lama terdegradasi oleh lingkungan. Indonesia sendiri masih kesulitan dalam mengelola limbah pakaian domestik, maka jika ada impor baju bekas yang berakhir di TPA justru akan menghadirkan masalah lingkungan baru bagi kita.
"Karena itulah, kalau baju bekas impor yang di-open dumped di TPA, akan semakin memenuhi TPA itu sendiri. Menumpuk dan terus menumpuk. Artinya akan jadi gunung sampah yang setinggi 20-30 meter," ujar Aretha mengingatkan.
Penting untuk dipahami bahwa saat ini teknologi TPA di Indonesia sendiri belum optimal dalam mengelola limbah pakaian. Sehingga dengan adanya baju bekas impor yang masuk ke Indonesia akan semakin membebani kita dalam mengelola limbah pakaian atau fashion waste. Maka Aretha pun berharap industri thrifting lebih fokus pada pasar domestik atau jual beli baju bekas dari produk lokal saja.
Di sisi lain, ia juga berharap akan ada institusi yang bisa mengelola industri thrifting secara lebih profesional dan terorganisir di Indonesia. "Seperti di Jepang atau Amerika Serikat, ini (thrift shop) menjadi potensi yang besar untuk bisa mengurangi sampah pakaian," tambah Aretha lagi.
Industri Fashion Lokal Lebih Kompetitif
Apa yang disampaikan oleh Aretha tentang besarnya industri jual beli pakaian bekas di negara maju yang berdampak positif pada keberlanjutan lingkungan, juga dilihat oleh Franka Soeria, pengamat mode dan pendiri Markamarie. Saat diwawancarai oleh PARAPUAN, Franka menilai bahwa industri thrifting di berbagai negara sangat berkembang pesat, termasuk di Indonesia, namun ada perbedaan yang signifikan.
"Kalau di US (Amerika Serikat) itu kan mayoritas tuh memang produk secondhand yang ada dari negara sendiri, jadi bukan diimpor. Sementara di sini memang fenomenanya kebanyakan adalah imported," ujar Franka.
Di dalam negeri sendiri, biasanya para pelaku usaha thrifting di Indonesia akan menjual kembali baju-baju bekas impor tersebut dalam paket-paket usaha dengan harga yang sangat murah. Sehingga tak heran jika baju bekas impor ini memang menarik bagi konsumen yang mencari pakaian murah saja.
"Sehingga jadinya, memang brand lokal jadi agak susah bersaing. Jadi kalau kita perhatiin, kalau baju thrifting branded yang secara detail juga bagus, sementara dengan harga yang sama brand lokal walau sudah pakai bahan yang sama, orang lebih memilih membeli baju bekas branded," papar Franka.
Baca Juga: Setali Indonesia Ajak Masyarakat Kurangi Limbah Pakaian dengan Upcycling
Menurutnya, hal ini dapat mengancam brand fashion lokal. Dengan kata lain, industri mode lokal bukan hanya bersaing dengan produk dari Cina saja, tapi juga baju bekas impor.
Maka tak heran jika Franka juga sejalan dengan apa yang diharapkan oleh Aretha agar para pelaku usaha thrifting untuk fokus memperjualbelikan baju bekas dari brand lokal. Menurutnya, cara ini bisa membuat sebuah baju memiliki usia pakai yang lebih panjang, tapi di satu sisi juga tidak menyakiti siapapun karena memutarkan pasar produk lokal.
"(Cara ini) sustainable-nya tetap jalan, tapi juga tidak mau mengancam ekonomi siapa-siapa, karena pada dasarnya masih banyak orang yang tidak masalah pakai baju bekas. Because sometimes keunikannya thrifting itu kan you can find unique atau vintage pieces yang tidak dijual, ada bagian fun tersendiri dari (industri) ini," ujar Franka lagi.
Berdasarkan pengamatan PARAPUAN, memang masih jarang pelaku usaha thrifting yang menawarkan pakaian bekas dari brand lokal. Kebanyakan masih menempatkan baju bekas dari brand luar negeri atau luxury brand sebagai primadona jualan para pelaku usaha thrifting. Maklum saja, kini masih banyak masyarakat yang menganggap mengenakan pakaian dari luar negeri terasa lebih 'membanggakan' dibandingkan baju dari brand lokal.
Kendati demikian, Franka justru optimis bahwa industri thrifting lokal akan menjadi besar dan lebih dinamis di masa depan. Misal saja, bukan hanya bergantung pada jual beli baju bekas saja, tapi juga sebagian pelaku usaha thrifting juga akan lebih kreatif dalam menjajakan produk mereka. Seperti menerapkan upcycling pada produk-produk yang mereka jual, sehingga menjadi lebih baru, unik dan punya nilai jual lebih tinggi.
"Karena sekarang tren itu udah enggak ngaruh, sekarang tuh lebih ke 'personal style' yang mana orang ingin tampil unik. Dengan kata lain kreativitas seseorang tuh bisa membantu suatu produk punya umur pakai yang lebih panjang. Upcycling is a big future," papar Franka yang percaya bahwa produk upcycle akan memberikan nilai ekonomi lebih pada sebuah 'baju bekas'.
Tak hanya kepada para pelaku usaha thrifting, Franka juga berharap akan semakin banyak brand fashion lokal yang juga merilis koleksi upcycle. Atau mendorong para brand fashion untuk menggelar kampanye yang mengajak konsumennya masing-masing untuk mendonasikan pakaian bekas yang tak ingin dipakainya atau menawarkan jasa upcycle.
"Kita (pelaku usaha fashion) harus produce responsibly. Kita harus memproduksi sesuatu dengan ngecek dulu baju kita bisa tahan lama atau enggak. Sayangnya kadang brand lokal maunya jual harus murah, tapi kadang harus kompromi sama kualitas. Contoh kancingnya gampang copot, restleting rusak, atau kainnya baru sekali pakai dicuci langsung mengkerut. Akhirnya mereka jadi contribute to fashion pollution," ujar Franka mengingatkan.
Baca Juga: Sindiran untuk Semua Orang, Sejauh Mata Memandang Hadirkan Pameran Kisah Punah Kita
Dalam menerapkan sustainable fashion, Franka percaya bahwa tidak harus selalu menerapkan sesuatu yang rumit. Misalnya saja tak selalu harus menggunakan pewarna alam atau material yang ramah lingkungan. "Padahal salah satu langkah mudahnya adalah bikin aja baju yang bagus, long lasting, timeless, yang emang kepake. Justru baju yang aneh, only one time kita pake, kita malu untuk make lagi, that's part of pollution basically," tambahnya.
Dari apa yang dipaparkan oleh Aretha dan Franka, bisa dipahami bahwa di tengah upaya untuk meminimalisir limbah pakaian, industri thrifting bisa jadi penyelamat kerusakan lingkungan. Namun ternyata itu saja tidaklah cukup. Perlu juga ada perubahan mindset yang mana kita perlu mendukung industri thrifting dari pasar domestik, sekaligus memilih pakaian yang sekiranya memiliki usia pakai yang panjang.
Bahkan keduanya juga setuju bahwa kebiasaan 'upcycling', bisa turut berkontribusi untuk mengurangi limbah pakaian dan menyelamatkan kita dari kerusakan lingkungan. Termasuk memiliki potensi bisnis yang menguntungkan di masa depan.
(*)