Selama bekerja pada masa pandemi, banyak pekerja muda merasa kurang mendapat apresiasi, pengakuan, dan kompensasi atas kerja kerasnya.
Akhirnya muncul sebuah sikap untuk menolak bekerja terlalu keras hingga melupakan kehidupan pribadi.
Perilaku quiet quitting bertujuan untuk menciptakan work life balance, bekerja sesuai porsinya, dan kesejahteraan fisik serta mental.
Quiet Quitting Adalah Tuntutan Bukan Permintaan
Menurut Jaya Dass selaku direktur pelaksana perusahaan HRD Ranstad, melihat fenomena ini sebagai cara para pekerja untuk mengatur kehidupan pribadi dan pekerjaan agar seimbang.
“Apa yang dulunya merupakan tantangan pasif agresif dari work life balance sekarang menjadi permintaan yang sangat langsung,” kata Jay Dass dikutip dari Kompas.com pada Jumat (2/9/2022).
Ia juga mengatakan jika fenomena quiet quitting adalah sebuah tuntutan yang datang dari rasa putus asa karena kondisi tidak stabil sepert meningkatnya inflasi, biaya hidup tinggi dan pendapatan yang tidak sesuai.
“Itu bukan permintaan lagi. Ini adalah tuntutan," tambahnya.
Sikap ini juga merupakan pilihan yang masuk akal daripada memilih berhenti bekerja dan tidak memiliki penghasilan.
Baca juga: Kerap Dinormalisasi, ini Dampak Buruk Toxic Productivity dalam Bekerja