Parapuan.co - Atlet difabel powerlifter Eneng Paridah berhasil menorehkan prestasi di ajang olahraga internasional ASEAN Para Games 2022 di Solo, Jawa Tengah.
Berhasil menyumbangkan medali emas, debut Eneng di kancah internasional itu diawali dengan membanggakan.
Namun, terdapat lika-liku yang dihadapi oleh atlet perempuan olahraga powerlifting atau angkat beban asal Tasikmalaya itu.
Kepada PARAPUAN, Eneng menceritakan sosok yang sempat merendahkan kemampuannya sebagai seorang atlet.
Orang tersebut justru adalah ibunya sendiri, Kawan Puan.
"Ibu saya sendiri yang ngomong 'bisa nggak? Ah ibu nggak yakin kamu bisa ikutan olahraga. Orang badannya kayak gitu'," dalam syuting Podcast Cerita Parapuan pada Kamis (1/9/2022).
Namun, seiring berjalannya waktu Eneng dapat membuktikan kemampuannya, kedua orang tuanya pun ikut senang.
"Tapi kan setelah aku membuktikan bahwa aku bisa mereka juga ikut senang," imbuhnya
Ia pun kini tak lagi takut saat bertanding dan faktor yang mendukungnya menjadi sosok kuat.
Baca Juga: Doa Jadi Kekuatan Eneng Paridah dalam Menghadapi Titik Terendah
Tak Takut Lagi Saat Bertanding
Eneng menceritakan kondisi polio yang ia alami saat berusia 2 tahun.
"Dulu itu kalo pas lahir normal. Cuma dulu sakit pas usia 2 tahun nggak bisa jalan sampai 5 tahun," kata Eneng.
Polio yang diderita Eneng membuatnya sulit untuk berjalan dengan normal.
"Terus dari 5 tahun kesini bisa jalan pelan-pelan jalan sendiri tapi nggak normal jalannya," lanjut atlet yang sebelumnya menekuni olahraga voli itu.
Saat ditanya kondisinya saat ini, Eneng mengaku tak merasakan sakit.
Namun, ia mengaku tak dapat menggerakkan kakinya untuk berjalan.
"Cuma nggak ada tenaga aja, nggak bisa jalan, lemas. Cuma bisa getar-getar doang," ujarnya.
Namun, kondisinya saat ini tidak mempengaruhi dirinya saat bertanding.
Baca Juga: Lihat Senior, Eneng Paridah Termotivasi untuk Jadi Atlet Difabel
Eneng menjelaskan, saat melakukan powerlifting di pertandingan ia dalam posisi tidur.
Dalam hal ini, kuncian anggota tubuh yang dipakai untuk angkat beban adalah bahu dan pinggang.
"Kadang-kadang takut kunciannya lepas karena kan yang sebelah kiri nggak bisa nahan. Kadang-kadang pantat naik," ujarnya.
"Kan kalo pertandingan nggak boleh naik pantatnya. Karena kalo naik di-dis (diskualifikasi). Itu aja yang dijaga," jelas Eneng.
Namun, saat ini Eneng sudah terbiasa dan tak memiliki rasa takut itu saat bertanding.
Dalam olahraga angkat beban, Eneng menceritakan bahwa tidak ada batasan maksimal secara kondisi fisik dan kesehatan.
Ia mengatakan bahwa batasan tersebut didasarkan pada seberapa besar kekuatan atletnya.
"Lebih banyak, lebih kuat, lebih bagus," ucap Eneng.
Baca Juga: Kiat Powerlifter Eneng Paridah Tetap Berprestasi dalam Keterbatasan
Fisik Bukan Hambatan
Punya jadwal latihan yang sama, Eneng pun menceritakan bahwa ia sering berbagi cerita dengan para atlet normal.
Para atlet difabel justru tak jarang bisa mengangkat beban yang lebih banyak.
Eneng pun menjelaskan adanya perbedaan teknik angkat beban atlet normal dan atlet difabel.
Atlet normal memiliki tiga hal yang menjadi fokus utama dalam melakukan angkat beban.
"Kalo yang disabilitas cuma satu," tutur Eneng.
Eneng mengaku ada satu hal yang membuatnya percaya diri dan merasa fisik bukanlah hambatan.
Hal yang justru menguatkan Eneng justru rasa tertantang dalam dirinya.
"Kalo udah bisa, apalagi udah naik pengen lebih naik lagi, itu yang bikin saya tertantang," kata dia.
Hal ini yang membuat Eneng dapat menyumbangkan medali emas di lomba angkat berat kategori 41 kg.
Ia berhasil mengalahkan negara lain, yakni Sibounheuang Dengmany dan Sipaseuth Latsami dari Laos dan Marydol Pamati-an dari Filipina.
Baca Juga: Dilakukan Atlet Eneng Paridah, Kenali 3 Manfaat Powerlifting Berikut
Wah, kisah Eneng sangat menginspirasi sekali ya, Kawan Puan?