Parapuan.co - Menjadi salah satu penyintas gangguan kesehatan mental bipolar dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) membuat Afina Syifa membutuhkan perjalanan panjang untuk bisa menerima dirinya sendiri.
Tak heran, pasalnya sebelum banyak dibicarakan seperti sekarang ini, mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental kerap dihadapi oleh berbagai stigma yang ada di tengah masyarakat.
Kurangnya edukasi dan keterbatasan pemahaman membuat mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental sering mengalami penolakan hingga dikucilkan di lingkungannya.
Fenomena tersebut kemudian menyebabkan mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental seperti Afina Syifa merasa takut untuk membagikan apa yang dialaminya, bahkan ke orang terdekat sekalipun.
Apalagi saat pertama kali didiagnosis gangguan bipolar pada tahun 2018, Afina mengaku takut akan penilaian orang di sekitarnya karena bipolar yang diidapnya.
Kala itu, isu mengenai gangguan kesehatan mental memang belum banyak dibicarakan dan masih dianggap tabu, bahkan tak jarang dianggap sebagai gangguan spiritual.
Hadir sebagai narasumber di Podcast Cerita Parapuan mendatang, Afina Syifa mengaku butuh waktu panjang hingga akhirnya bisa berada di titik penerimaan diri sendiri usai didiagnosis bipolar tipe I.
Bipolar sendiri merupakan gangguan kesehatan mental di mana pengidapnya mengalami perubahan suasana hati yang cukup ekstrem dan terbagi menjadi dua fase, yakni mania (bersemangat) dan depresi.
Sementara ADHD atau gangguan pemusatan perhatian atau hiperaktivitas merupakan gangguan mental yang ditandai dengan perilaku impulsif dan hiperaktif, di mana pengidapnya kerap mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian pada satu tugas.
Baca Juga: Pernah Dirawat di RSJ, Ini Perjalanan Berliku Yovania Asyifa Jami dalam Menerima Diri
Perjalanannya dalam menerima diri sendiri pun cukup berliku, terlebih karena harus menghadapi fase depresi yang bisa muncul kapan saja, membuatnya tak jarang menyalahkan diri sendiri hingga ingin menyerah.
“It takes a long time untuk menerima diri sendiri. Aku baru menerima (kondisiku) itu sebenarnya baru di tahun 2021, bahwa aku punya bipolar. Kalau dulu aku masih denial, khususnya kalau lagi fase depresi,” ceritanya.
Sebelum itu, orang tua Afina bahkan sempat merasa gangguan bipolar yang dialami putrinya sebagai gangguan spiritual hingga Afina harus menjalani metode penyembuhan ruqyah.
“Ibu sama ayah aku awalnya denial, sampai aku pernah dibawa ke ruqyah karena mereka mengira bipolar aku karena jin. Padahal ketika aku di-ruqyah aku enggak apa-apa sebenarnya, tapi aku sedihnya waktu itu aku sudah sebulan enggak self-harm dan aku cuman minta untuk diapresiasi,” kata Afina.
Untungnya sekarang orang tuanya sudah lebih bisa memahami dan mulai mendukung putrinya itu, terlebih setelah melihat bahwa apa yang dialami oleh Afina justru membuatnya dapat berkembang menjadi lebih baik lagi.
“Aku juga lebih membuktikan kalau aku bisa membantu orang lewat itu. Ternyata ibu ayah aku sering melihat aku diundang ke seminar, jadi mereka melihat ini sebagai kelebihan dan kekurangan. Jadi orang tua melihat ini kelebihan untuk aku,” ujarnya.
Menerima Emosi untuk Mengenal Diri Sendiri
Jika dulu Afina cenderung menyalahkan diri sendiri karena kondisi yang diidapnya, kini karena lebih mengenal diri sendiri, ia mengatakan sudah lebih bisa mengontrol emosinya.
Dalam prosesnya, Afina belajar bahwa menerima semua emosi yang dirasakannya merupakan cara paling efektif untuk mengontrol fase bipolarnya, terutama fase depresi.
Baca Juga: Dialami Pengidap Gangguan Bipolar, Apa Itu Mania dan Hipomania?
“Tapi kalau sekarang aku sudah mulai menerima. Cara menerimanya itu aku menerima semua perasaan dan emosi yang aku rasakan,” kata alumnus jurusan Kesejahteraan Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad itu.
Perjalanan yang ia sebut sebagai proses Memanusiakan Diri Sendiri itu dilakukan dengan cara membangun kesadaran atas emosi yang dirasakannya.
Misalnya saja ketika merasa sedih, alih-alih berpikir untuk harus selalu bahagia, ia lebih memilih untuk mengobrol dan menenangkan diri sendiri.
“Jadi menghadapi diri sendiri, aku bayangin di depan aku itu ada aku, di mana aku berusaha megang dia, peluk dia, dan mencoba menenangkan. Khususnya waktu pas lagi SJS (steven-johnson syndrome). Jadi ngobrol dan curhat sama diri sendiri,” sambungnya.
Lebih jauh, ia juga selalu berusaha untuk mengingat perjalanan panjang dan berliku yang sudah dilaluinya untuk mencapai tahap penerimaan diri.
“Aku ingat salah satu ayat di Al-Qur’an bahwa Allah itu menyayangi aku. Jadi kalau yang di Atas saja sayang sama aku, aku juga harus sayang sama diri aku. Apalagi perjuangan aku sudah panjang banget,” jelasnya.
Afina kemudian mengatakan, “Memang susah banget untuk mencapai titik menyayangi diri sendiri, tapi aku percaya sama prosesnya karena enggak harus tiba-tiba besoknya kita menerima kondisi kita.”
Hingga saat ini, Afina Syifa mengaku masih ingin berusaha untuk menstabilkan emosinya agar ke depannya bisa membantu mereka yang juga harus berjuang saat menghadapi gangguan kesehatan mental.
Baca Juga: Gangguan Depresi atau Bipolar? Ketahui Perbedaan Masalah Kesehatan Mental
Meski sudah lebih stabil dan terbuka terhadap apa yang dirasakannya, ia masih ingin terus belajar mengenal dirinya lebih dalam lagi.
“Aku juga pengin lebih stabil agar bisa bantu teman-teman dan bisa beraktivitas dengan baik. Aku juga ingin lebih sayang sama diri sendiri dan lebih aware terhadap emosi-emosi yang ada karena sampai sekarang aku juga masih belajar, kan,” ungkap Afina.
Wah, semoga apa yang diharapkan Afina ke depannya bisa segera terwujud, terutama dalam hal penerimaan diri sendiri, ya! (*)