Parapuan.co - Ancaman resesi karena kondisi ekonomi global saat ini membuat berbagai instrumen investasi, terutama yang berisiko tinggi, menjadi volatil.
Akan tetapi, kondisi pasar yang fluktuatif bukan berarti lantas para investor harus mengurangi atau bahkan berhenti berinvestasi.
Menurut perencana keuangan dari Alliance Group Indonesia, Andy Nugroho, berhenti berinvestasi dan hanya menyimpan seluruh dana secara pribadi atau di bank berisiko menurunkan nilai mata uang karena tergerus inflasi.
Tak heran, dalam beberapa bulan terakhir indeks harga konsumen (IHK) RI memang terus mengalami peningkatan.
Dalam hal investasi, Andy menyarankan untuk menempatkan dana investasi di instrumen yang memiliki risiko rendah, seperti logam mulia, deposito, atau reksa dana berbasis pendapatan tetap.
“Jadi biar (dana) tetap bisa digunakan, dan dicairkan, namun kemungkinan melawan inflasi cukup kuat, kita bisa taruh di uang tunai atau instrumen investasi yang memang gampang dicairkan,” jelas Andy kepada Kompas.com, dikutip PARAPUAN, Sabtu (1/10/2022).
Apabila masih tetap ingin berinvestasi di instrumen berisiko tinggi seperti saham, Kawan Puan harus menyesuaikannya dengan profil investasi masing-masing.
Secara umum, profil risiko investasi terbagi menjadi tiga jenis, yaitu konservatif, moderat, dan agresif.
Baca Juga: Ini Cara Mengelola Rencana Keuangan dan Dana Darurat di Masa Resesi
Konservatif merupakan profil risiko paling rendah, sedangkan moderat profil risiko menengah dan agresif adalah profil risiko paling tinggi.
Bagi kamu yang memiliki profil risiko konservatif, Andy menyarankan untuk tidak mengalokasikan dana investasi di instrumen dengan risiko tinggi seperti saham.
Daripada itu, ia merekomendasikan agar seluruh dana investasi ditempatkan di instrumen investasi berisiko rendah.
“Saya akan menyarankan saat ini lebih pada ke deposito misal 20 persen, kemudian logam mulia 20 persen, kemudian mau di reksa dana pendapatan tetap itu bisa di sekitar 30 persen, dan di surat berharga negara (SBN) itu bisa berupa ORI atau sukuk ritel itu bisa 30 persen,” terangnya.
Individu yang memiliki profil risiko moderat bisa menempatkan dana investasi di produk reksa dana berbasis campuran.
Tetapi perlu diingat bahwa Andy menyarankan agar sebagian besar dana investasi agar ditempatkan di produk investasi pendapatan tetap, misalnya deposito dan SBM.
“Mereka bisa meraciknya dengan punya portofolio di SBN sebesar 30 persen, kemudian reksa dana berbasis campuran itu 40 persen, kemudian juga untuk deposito itu 15 persen, dan logam mulia 15 persen,” katanya.
Sementara itu, individu dengan profil risiko agresif direkomendasikan untuk memilih instrumen investasi berisiko tinggi.
Baca Juga: Ini Dia 5 Tips dalam Memilih Saham untuk Investasi Saat Resesi
Bahkan apabila kamu masuk ke dalam kategori ini, ia menyarankan kepemilikan saham mencapai 50 persen dari total portofolio investasi.
Di samping rekomendasi tersebut, Andy turut menekankan pentingnya memantau kondisi fundamental ekonomi global.
Ini perlu dilakukan saat berinvestasi guna meminimalisir potensi kerugian yang besar apabila pasar saham berguguran nantinya.
“Teman-teman yang portofolionya agresif, saya akan menyarankan pasar saham 50 persen, kemudian mereka juga bisa masuk di reksa dana berbasis pasar saham 30 persen, kemudian obligasi ritel atau sukuk ritel 20 persen,” pungkas Andy.
Itulah tips mengalokasikan dana investasi berdasarkan profil risikonya di tengah ancaman resesi, dari perencana keuangan Andy Nugroho. (*)