Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Oleh sebab itu, pelaku KDRT senantiasa merasa berada dalam zona aman sebab mereka kerap meyakini jika korban (yang adalah anggota keluarga) pasti tidak ingin memperpanjang masalah dengan si pelaku KDRT yang juga merupakan bagian dari keluarga.
Dengan demikian, perilaku kekerasan akan berlangsung terus-menerus, dan semakin memperpanjang dominasi si pelaku KDRT terhadap korbannya.
Baca Juga: Viral di TikTok Pernyataan Inul Dianggap Normalisasi KDRT, Netizen Bandingkan dengan Mamah Dedeh
Sayang Anak, tapi Berdamai dengan Pelaku KDRT?
Alasan utama Lesti Kejora mencabut tuntutan dan memilih berdamai dengan Rizki Billar adalah demi anak. Namun dengan memaafkan pelaku KDRT, Lesti justru tidak memikirkan kepentingan dan tumbuh kembang anaknya.
Korban KDRT bukan hanya diderita oleh salah satu pasangan suami-istri, melainkan juga dapat terjadi pada anak.
Meskipun mungkin anak bukan sasaran kekerasan si pelaku KDRT, anak juga merupakan anggota keluarga yang memiliki potensi sangat besar untuk terekspos kekerasan dalam rumah tangga meski hanya sebagai pihak yang mengamati ketika kekerasan tersebut terjadi.
Melansir dari laman NSW Government Australia, potensi anak-anak yang terpapar KDRT di rumah berdampak pada gangguan fisik, mental, dan kejiwaannya.
Anak-anak yang berada dalam lingkungan keluarga tempat terjadinya KDRT akan mengalami anxiety, stres, mengalami fobia, menjadi pribadi yang rendah diri, mengalami gangguan makan dan tidur, bertindak agresif, menjadi target perundungan (bullying), bahkan yang sangat ekstrem sampai memiliki keinginan untuk mencelakakan diri sendiri.
Bahaya lain yang dapat dialami anak ketika menyaksikan terjadinya peristiwa kejahatan dalam rumah tangga adalah bahwa di kemudian hari sang anak juga akan melakukan tindak kekerasan yang sama terhadap orang lain dan keluarganya.