Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - “Ibu-ibu zaman sekarang enggak seperti zaman dulu. Perempuan zaman dulu kuat. Banyak anak, ekonomi sulit, tapi dijalani dengan ikhlas. Enggak banyak ngeluh. Kalau sekarang, dikit-dikit ngeluh di medsos.”
Aku mendengar itu dari seorang ibu yang sudah “senior”.
Ah, aku malu menggunakan istilah itu, karena aku tidak yakin ada tatanan senioritas dalam menjadi ibu. Namun, Si Ibu itu sendiri yang menyebut dirinya sebagai “ibu senior”. Aku, si Ibu Junior hanya membalasnya dengan tersenyum.
Tidak, aku tidak tersenyum sinis atau tersinggung. Aku tersenyum karena aku paham Si Ibu Senior ini pun, pasti memiliki kesakitan dan lukanya sendiri. Sebab tidak ada ibu yang tidak terluka. Sejarah telah menulisnya.
Penolong Kecil Ibu
Pada tahun 1960-an awal, di Amerika Serikat, ada sebuah pil berwarna kuning yang sangat populer di antara ibu rumah tangga. Mereka menyebutnya, Mommy’s Little Helper.
Obat ini konon dapat membuat para ibu yang tadinya gampang marah dan susah tidur, menjadi lebih tenang.
Para ibu menyembunyikan obat ini di bawah kasur mereka. Tapi lalu anak-anak remaja mereka yang penasaran mencuri obat itu dan meminumnya. Itulah perkenalan mereka dengan zat psikotropika.
Mick Jagger menangkap fenomena ini dan menuliskan lirik lagu yang kemudian menjadi hits The Rolling Stones di tahun 1966 berjudul "Mommy’s Little Helper".
Baca Juga: Ibu Rumah Tangga Perlu Dukungan agar Tidak Mudah Stres dan Kelelahan
Jagger menggambarkan bagaimana para ibu secara tidak langsung menjadi pecandu narkoba akibat penyalahgunaan valium.
Obat itu membuat para ibu tenang untuk sementara, namun semakin jauh dari anak-anak dan suaminya. Semakin jauh dari dirinya sendiri.
"Things are different today,” I hear every mother say
Cooking fresh food for her husband's just a drag
So she buys an instant cake, and she burns a frozen steak
And goes running for the shelter of her mother's little helper
And two help her on her way, get her through her busy day
Doctor, please, some more of these
Outside the door, she took four more
Industri farmasi memang sengaja memasarkan valium kepada para perempuan, khususnya ibu rumah tangga.
Mereka sengaja mengeksploitasi penurunan daya kognitif yang dialami para ibu penderita depresi. Hal-hal ringan dan rutin menjadi sesuatu yang berat bagi mereka.
Bagi ibu rumah tangga kala itu, tidak ada yang lebih memalukan daripada anak-anak yang makan makanan instan dan rumah berantakan. Ini jadi sasaran empuk para penjual obat.
Mereka mendesain poster-poster iklan dengan gambar wajah perempuan yang awalnya muram, jadi tersenyum manis dengan riasan berseri setelah meminum valium.
Masakan kembali terhidang dengan rapi, pekerjaan rumah beres lagi.
“Now She Can Cope” (Sekarang, dia sudah bisa mengatasinya -red.), poster itu seolah berkata mesin bernama ibu rumah tangga yang biasa menyediakan makanan, merapikan rumah dan bajumu, bisa kembali berfungsi dengan obat ini.
@cerita_parapuan Kamu sudah siap jadi ibu? #fypシ #parenting #parentingtips ♬ Wanita - Rossa
Sebelum valium, para ibu rumah tangga juga sudah rentan menjadi target pasar penjualan obat penenang.
Sebelumnya, para ibu meminum obat bernama barbiturates yang dapat menenangkan namun dengan efek samping yang parah, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Salah satu korbannya adalah Marilyn Monroe, yang meninggal akibat keracunan barbiturates.
Baca Juga: Kisah Hidup Marilyn Monroe, Pernah Alami Kekerasan Seksual hingga Overdosis
Penolong Ibu di Indonesia
Di Indonesia, kita tidak mendengar kehadiran pil kuning cerah bernama Mommy’s Little Helper. Namun itu bukan berarti ibu di Indonesia tidak mengalami depresi.
Data dari Global Burden of Diseases pada tahun 2019 menunjukkan bahwa sejak tahun 1990 hingga 2019, perempuan usia produktif adalah penderita gangguan kesehatan mental terbanyak di Indonesia.
Jika kita asumsikan bahwa rata-rata perempuan Indonesia menikah di usia 22-25 tahun, maka berapa banyak dari 6,5 juta penderita tersebut adalah seorang ibu?
Pascapandemi Covid 19, kita bergegas untuk pulih. Roda ekonomi digenjot, triliunan rupiah digelontorkan untuk membangkitkan kembali ekonomi.
Tapi seberapa besar yang telah dialokasikan oleh negara untuk memulihkan para ibu?
Baca Juga: Waspada, Ini Tantangan Kesehatan Mental yang Kerap Dihadapi Single Mom
YLBH APIK mencatat kenaikan kasus KDRT sebanyak 75% selama pandemi Covid di tahun 2020. Sembilan puluh (90) perempuan terlapor mengalami kekerasan setiap bulannya.
Ini adalah data yang terlapor. Tentu yang tidak terlapor lebih banyak lagi.
Hanya saja, kita menyalahartikan depresi seorang ibu dengan “kurang beriman”, “kurang bersyukur” atau bahkan “kesambet”.
Bagi masyarakat, menerima stereotip bahwa emak-emak memang bersifat gampang marah, suka mencubiti anak-anaknya, dan bersuara melengking setiap hari itu lebih mudah.
Kita tidak siap menerima bahwa gampang marah, gampang membentak, dan sering menyakiti anak adalah ciri dari gangguan kesehatan mental. Pil pahit yang belum kunjung siap kita telan.
Pemerintah harus bisa mendekatkan lagi pelayanan kesehatan mental kepada masyarakat.
@cerita_parapuan Gangguan mental bukan seperti penyakit pada umumnya yang bisa dinyatakan sembuh ya #mentalhealth #mentalhealthmatters #mentalhealthawareness ♬ Dunia Tipu-Tipu - Yura Yunita
Sosialisasi kesehatan ibu dan anak melalui Posyandu dan Puskesmas akan lebih lengkap lagi jika disertai dengan edukasi kesehatan mental dan masalah-masalah yang mungkin muncul pada psikologis para perempuan pascamelahirkan.
Edukasi perlu dilakukan secara menyeluruh ke unit-unit keluarga agar orang-orang di sekeliling ibu hamil dan melahirkan dapat menjadi support system yang baik.
Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kondisi kesehatan mental yang buruk pada ibu hamil akan menyumbang kemungkinan stunting dan gangguan tumbuh kembang lain pada bayi.
Di antara kerja-kerja yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan ekonomi Indonesia, saya berharap para ibu tidak ditinggalkan.
Kesehatan fisik dan mental mereka tidak kalah penting dari roda-roda ekonomi yang harus terus diputar.
Mereka adalah faktor penentu sebagus apa kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
Pemulihan ibu pertiwi tidak akan pernah terjadi jika kita tidak memulihkan jiwa para ibu yang terdampak pandemi.
Saat ibu sehat, bangsa menjadi sehat. (*)