Parapuan.co – Perubahan iklim atau climate change merupakan salah satu ancaman global yang telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Saat ini, efek perubahan iklim semakin memburuk dan berpotensi mengancam kelangsungan hidup manusia.
Masyarakat Indonesia pun kini sudah mengalami dampak nyata jangka pendek dari perubahan iklim, di antaranya adalah cuaca ekstrem, bencana hidrologi seperti tanah longsor dan banjir, serta kelangkaan air.
Sedangkan pada jangka panjang, Bumi akan mengalami degradasi lingkungan secara bertahap. Degradasi lingkungan dapat meruntuhkan berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari kelangkaan sumber daya alam, melemahnya ketahanan pangan, hingga ancaman kesehatan dan ekonomi global.
United Nation (UN) Women menyebut perubahan iklim adalah “pengganda ancaman”. Artinya, dampak perubahan iklim akan terus bertambah seiring waktu apabila tidak segera diatasi. Perempuan dan anak-anak pun dinilai menjadi kelompok yang paling rentan terdampak.
Baca Juga: Cegah Dampak Resesi, Pemerintah Andalkan Rencana Digitalisasi UMKM
Selama ini, hampir seluruh masyarakat di dunia terbiasa hidup dalam konsep ekonomi linear dengan pola konsumsi produksi-pakai-buang. Pola tersebut memicu produksi limbah yang berlebihan sehingga dapat memperburuk dampak perubahan iklim.
Menurut Co-Founder Vital Ocean dan Partner Systemiq Joi Danielson, pola konsumsi tersebut didorong oleh sifat alami manusia yang cenderung takut akan kelangkaan sehingga kerap mengonsumsi barang lebih dari yang dibutuhkan.
“Jika kita bisa membantu orang merasa bahwa apa yang mereka miliki sudah cukup, kita bisa meyakinkan mereka untuk hanya mengonsumsi yang dibutuhkan. Dengan ini, kita bisa mulai memutus siklus konsumsi tersebut,” jelas Joi dalam forum pra Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ketiga Y20 Indonesia, dikutip dari laman g20.org.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya meyakini, perempuan dan anak muda dapat berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim.
Baca Juga: Jadi Pemain Kunci Pengelolaan Energi di Rumah Tangga, Perempuan Perlu Dilibatkan dalam Transisi EBT
Perempuan merupakan kelompok utama yang berperan untuk mengedukasi generasi muda. Melalui pendidikan sejak dini, perempuan dapat meningkatkan kesadaran serta kepedulian anak-anak dan generasi muda terhadap lingkungan.
Perempuan juga dapat menjadi contoh atau role model bagi anggota keluarga dan masyarakat di sekitarnya untuk menerapkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, menghemat penggunaan energi listrik, serta mengelola dan mengolah sampah rumah tangga dengan bijak.
Sementara itu, generasi muda dinilai dapat menjadi agen perubahan untuk menyuarakan sekaligus melakukan aksi nyata untuk mengatasi perubahan iklim. Terlebih, generasi muda, terutama milenial dan generasi Z, merupakan kelompok yang tumbuh di era keterbukaan sumber informasi dan pengetahuan melalui teknologi digital sehingga dinilai memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih luas.
“Generasi muda bisa menjadi aktor melalui keterlibatan aktif dalam agenda pengendalian perubahan iklim, seperti mengurangi dan mendaur ulang sampah, mendorong penggunaan sumber energi terbarukan, serta mengembangkan kreasi dan inovasi teknologi yang relevan untuk menggali upaya pengurangan emisi karbon,” kata Siti dalam kesempatan yang sama.
Baca Juga: Jadi Salah Satu Agen Pemulihan Ekonomi, Penguasaan Skill Digital Diperlukan Perempuan
Selain itu, survei yang dilakukan oleh Center for Climate Change Communication pada 2019 menunjukkan, generasi milenial menjadi kelompok yang paling peduli dengan isu lingkungan.
Bahkan, generasi milenial menjadi kelompok dominan yang bersedia untuk berdonasi dan menjadi sukarelawan pada organisasi lingkungan demi mengatasi pemanasan global.
Dukung ekonomi yang berkelanjutan
Sebagai salah satu upaya mengatasi perubahan iklim, Indonesia melalui Pertemuan Sherpa G20 juga mendorong pembangunan ekonomi global berkelanjutan lewat penerapan ekonomi biru, ekonomi hijau, dan ekonomi sirkular.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, implementasi ekonomi biru, hijau, dan sirkular dapat menciptakan jutaan lapangan pekerjaan baru, mengurangi sampah dari berbagai sektor industri, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Transformasi Digital Tingkatkan Inklusi Keuangan dan Partisipasi Perempuan dalam Ekonomi
Menurut Airlangga, implementasi ekonomi biru dilakukan dengan merumuskan kebijakan terkait pengelolaan ekosistem laut dan pesisir untuk mendukung perlindungan lingkungan hidup di perairan serta pengendalian perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia telah mendorong implementasi ekonomi hijau dengan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Salah satu kebijakan yang diusung adalah penerapan karbon, penetapan harga dalam bentuk cap and trade, dan pajak karbon pada 2023.
Kemudian, Airlangga juga menjelaskan konsep ekonomi sirkular dengan penerapan strategi untuk memperbarui, meningkatkan, dan mendaur ulang sampah dalam rantai pasok guna menjaga nilai produk dan bahan-bahan baku untuk waktu yang lama.
"Menggabungkan ekonomi biru, hijau, dan sirkular adalah sebuah peluang dan sekaligus tantangan. Kita harus menjaga keseimbangan pelestarian alam di laut dan darat. Kita juga perlu memastikan bahwa kebijakan nasional sejalan dengan kesepakatan global," ujar Airlangga, dikutip dari indonesia.go.id.
Indonesia sendiri telah menyampaikan dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).
Melalui dokumen LTS-LCCR 2050, Indonesia menyampaikan komitmennya dalam mencapai target Net Zero Emission (NET) pada 2060 atau lebih cepat. Dokumen tersebut menjadi salah satu bukti konkret komitmen Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim.