Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Kekuatan itu terbukti, ketika mengabaikan cancel culture membawa risiko hilangnya dukungan. Atau setidaknya sanksi sosial, berupa pengucilan oleh masyarakat yang bersuara sama.
Itu ditunjukkan oleh banyaknya tanda tangan, pendukung gagasan penekan yang nadanya sama.
Memang bukan hal baru di di era digital, namun punya kekuatan berlipat akibat diberdayakan oleh jejaring media digital.
Menarik mengikuti perspektif Rhona Shenna di atas, tindakan cancel culture seringkali dilakukan mereka yang secara historis, suaranya terbungkam.
Baca Juga: Heboh dan Trending Twitter, Muncul Petisi untuk Boikot Nikita Mirzani
Kelompok yang tak punya kuasa mengemukakan nilai-nilai yang dianutnya.
Para penguasa negara mengatur masyarakat dengan undang-undangnya.
Para penghasil komoditas membangun nilai manfaat produk lewat iklan yang dibayarnya, dan kelompok kriminal memaksakan ancamannya lewat teror yang ditebarnya.
Seluruh kekuatan di atas, memaksa masyarakat bertindak ikut para pemilik kuasa itu.
Yang tak punya kekuatan tersingkir jadi kelompok yang marjinal, dalam menyuarakan nilai yang diyakininya.
Keadaan itu tiba-tiba berubah, manakala perangkat digital memberi gratis kekuatan untuk menyuarakan nilai-nilai yang dianutnya.
Kekuatannya terbangun secara berjejaring. Maka, menjelmalah kelompok ini jadi kekuatan yang punya daya mengatur perilaku masyakarat lainnya.
Kelompok ini berdaya manakala mampu mengubah diri dari lovers, menjadi haters.
Yang ditekan menuruti kehendaknya, kecuali berani menanggung risiko kehilangan dukungan.
Yang itu juga berarti, hilangnya panggung kesohoran.
Namun patutkah cancel culture dilanggengkan jadi perangkat pengatur perilaku di tengah masyarakat?
Ada kelemahan jika ini dijadikan sebagai pilihan.
Dalam sebuah sistem peradilan, realitas kebenaran ditegakkan secara bertahap.
Ini melibatkan interaksi intersubjektivitas untuk menemukan kebenaran yang senyatanya.
Para penegak hukum, polisi, dan jaksa mengajukan tuntutannya dengan cermat.
Persidangan digelar untuk mendengar sanggahan para pembela hukum.
Kebenaran akhir diputuskan para hakim setelah mengikuti serial pembuktian secara objektif.
Namun yang seperti itu pun, tak menutup peluang terjadinya kesalahan menghukum orang tak bersalah.
Sejarah membuktikan tak hanya 1-2 kali orang dihukum mati, akibat tuduhan kejahatan yang tak diperbuatnya.
Hukuman mati telah dijalankan, namun belakangan hari hadir bukti-bukti baru.
Ada pelaku yang lebih sahih menerima hukuman final itu.
Sayangnya, nyawa telah melayang, kehidupan tak bisa dibalikkan dengan menghukum yang memang salah. Orang tak bersalah mati sia-sia.
Baca Juga: Tak Bisa Dihindari, Ini Isi Pikiran RAMENGVRL saat Menghadapi Haters
Akan halnya cancel cuture, tak lebih dari persidangan satu arah.
Tak ada dialog, tak ada sesi pembuktian yang objektif, tak ada pemutusan berdasar keyakinan oleh hakim yang adil.
Sanksi jatuh manakala ada perilaku yang dipandang tak sesuai dengan nilai yang dianut masyarakat.
Perilaku yang tertangkap sensor, diproduksi sebagai unggahan media sosial.
Ini tentu saja mendapat komentar, setelah terdistribusi luas.
Akumulasi suara yang senada, nampak hadir sebagai kebenaran; karenanya, layak ada hukuman yang dijatuhkan.
Kembali pada yang menimpa Ayu Ting Ting maupun pesohor lainnya.
Tanpa adanya dialog dan pembelaan diri, tak adakah peluang salah lihat, salah memahami, atau salah konteks dalam menyaksikan sebuah peristiwa?
Bagaimana ketika hukuman telah terlajur ditimpakan dan sasaran cancel culture ternyata tak bersalah?
Lewat cara apa cancel culture direhabilitasi, manakala hidup telah terlanjur sengsara? (*)