Berkaitan dengan hal tersebut, Bianca berpendapat bahwa brand owner atau produsen fashion memegang peranan penting dalam circular fashion ini.
“Karena bagaimana pun, kita (brand owner) yang berkontribusi paling besar. Menurutku dari product development dan desainer bisa dibilang 70-80 persen ambil peran dalam circular fashion,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Bianca berharap agar para brand owner memiliki mindset circular fashion sejak produk tersebut masih dalam pengembangan.
Melengkapi penjelasan Irma dan Bianca, Sari N. Seputra co-founder Major Minor, menambahkan bahwa mengatur over production bisa menjadi langkah tepat untuk menerapkan circular fashion.
“Kalau ngomongin circular fashion, kita juga perlu mengatur over production dan consumption,” terangnya.
Sari kemudian menceritakan bagaimana ia di Major Minor mengatur produksi agar tidak terjadi kelebihan stok, yang nantinya bisa berpotensi tidak terjual dan menjadi limbah.
“Pertama, kita perlu mikirin akan seberapa lama dipakai, berapa lama barang ini akan berguna, berapa lama akan bertahan.”
“Selain itu, managing inventory itu tidak mudah. Ketika mendapat kabar satu barang laku, kita enggak harus selalu produksi lagi, karena inventory kita enggak banyak,” ungkap Sari.
Kawan Puan, itulah penjelasan apa itu circular fashion dari ketiga brand fashion, baik dalam skala lokal maupun internasional.
Jadi bisa disimpulkan bahwa circular fashion sangat erat dengan sustainable fashion, dan prosesnya bisa dimulai bahkan sejak produk fashion masih dalam proses pengembangan.
Harapannya, produk fashion bisa memiliki umur pakai yang lebih lama dan bisa turut mengurangi limbah fashion yang mencemari lingkungan.
Bagaimana Kawan Puan, bagi kamu yang ingin memiliki brand fashion sendiri, apakah siap menerapkan circular fashion untuk bantu mengurangi pencemaran lingkungan?
Baca Juga: Tips Membeli Produk Sustainable Fashion untuk Pemula, Perhatikan Ini
(*)