Parapuan.co - Kehadiran saksi ahli dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam kasus gagal ginjal akut dinilai sangat membantu proses penyelidikan secara signifikan.
Seperti yang kita ketahui, kasus gagal ginjal akut kini marak terjadi di Indonesia.
Salah satu faktor yang menjadi sorotan masyarakat adalah adanya kandungan obat berbahaya yang masuk ke pasar Indonesia.
Menurut pakar hukum medis Universitas Hang Tuah Surabaya Eko Pujiyono, saksi ahli dari BPOM menjadi penting karena telah berbekal keahlian.
"Keterangan saksi ahli itu diatur dalam pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana," tutur Eko, dikutip dari rilis yang PARAPUAN terima.
"Kapasitas saksi ahli BPOM lahir dari keilmuan dan pengalaman yang mereka miliki sehingga tentunya kolaborasi BPOM dengan Bareskrim ini bisa mempercepat proses penyelidikan atas peristiwa gagal ginjal akut," lanjutnya.
Terkait penanggungjawab dari kasus tersebut, Eko mengutip Instruksi Presiden No 3/2017 mengenai Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan.
Menurutnya, pengawasan obat dan makanan tidak hanya dibebankan pada BPOM namun juga beberapa lembaga atau institusi pemerintah yang lain.
Hal itu dimulai sejak tahap pengadaan bahan, tahapan produksi, distribusi atau penyaluran hingga pada tahap penggunaan dalam sistem pelayanan.
Baca Juga: 3 Langkah agar Tetap Tenang Hadapi Isu Gagal Ginjal Akut pada Anak
Oleh karena itu, ketika berbicara tentang investigasi dalam suatu kasus, tidak bisa hanya pada satu titik saja namun harus mulai dari hulu ke hilir.
"Dalam konteks pengadaan bahan, Presiden menginstruksikan kementerian tertentu untuk melakukan peningkatan dalam hal pengawasan terhadap pengadaan impor," jelas Eko.
"Dalam tahapan produksi, kementerian lain dituntut untuk meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan bahan berbahaya yang disalahgunakan dalam proses produksi," lanjutnya.
Hal tersebut ternyata juga berkaitan dengan Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Menurut peraih gelar Doktor Hukum Medis di Universitas Airlangga tersebut, sangat jelas bahwa BPOM perlu diberikan kewenangan tambahan terkait pengawasan obat dan makanan.
Eko percaya bahwa keberadaan BPOM tidak cukup hanya dari Peraturan Presiden No 80/2017.
"Artinya, pada masa yang akan datang, harus ada peraturan yang membahas khusus tentang pengawasan obat dan makanan agar kewenangan-kewenangan BPOM ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang," kata Eko.
Eko pun menyarankan harus ada koordinasi yang kuat antar departemen yang telah diamanahkan oleh Instruksi Presiden 3/2017 tersebut agar pengawasan lebih efektif.
"Koordinasi yang efektif bisa mengantisipasi dan mencegah hal-hal yang berdampak pada masyarakat," ungkap Eko.
Baca Juga: Dokter Spesialis Ungkap 12 Gejala Gagal Ginjal Akut Pada Anak, Orang Tua Wajib Tahu
Sejak tanggal 7 Oktober yang lalu, BPOM telah melakukan serangkaian tindak lanjut dari kasus Kejadian Tidak Diinginkan Acute Kidney Injury (KTD AKI) tersebut.
Hal yang dilakukan antara lain investigasi dan penelusuran obat yang digunakan pasien, intensifikasi surveilans mutu produk, dan pendalaman hasil pengawasan.
Selain itu juga analisis kausalitas bersama pakar, serta pemberian sanksi administrasi kepada industri farmasi atas ketidaksesuaian atau pelanggaran peraturan.
Pada periode 21 Oktober hingga 10 November 2022, BPOM telah menerima 54 laporan KTD AKI dari 13 provinsi untuk kajian kausalitas KTD dengan obat.
(*)