Kebutuhan Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Suharti, salah satu pendamping korban mitra IPAS sekaligus dari Forum Pengada Layanan SPEK-HAM menjelaskan bahwa tiga layanan yang dibutuhkan oleh perempuan korban kekerasan seksual dalam hal pemulihan fisik maupun psikis.
Pemulihan ini masuk dalam hak korban kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No 12 Tahun 2022. Pasal 70 tersebut mengatur tentang Hak atas Pemulihan untuk korban.
Kemudian dalam Pasal 67 Ayat (1) Huruf C, dijelaskan apa saja hak korban atas pemulihan yang meliputi rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan/atau kompensasi, serta reintegrasi sosial.
Selanjutnya dijelaskan pula tentang pemulihan sebelum dan selama proses peradilan yang meliputi penyediaan layanan kesehatan untuk pemulihan fisik, penguatan psikologis, pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan, pemberian informasi tentang layanan pemulihan bagi korban, dan pendampingan hukum.
Bicara soal kebutuhan dan hak perempuan korban kekerasan seksual, di dalamnya sudah tercantum jelas adanya layanan kesehatan untuk pemulihan fisik yang mana termasuk di dalamnya adalah layanan aborsi aman untuk korban yang tidak ingin meneruskan kehamilannya.
“Kalau bicara soal pemulihan korban itu sebenarnya ada tiga hal utama, yang pertama adalah layanan hukum yang disediakan oleh kepolisian, pengacara, dan sebagainya. Yang kedua itu layanan psikososial yang disediakan oleh banyak lembaga layanan non pemerintah misalnya layanan di bawah koordinasi LPL terus kemudian ada P2TP2A milik pemerintah yang menyediakan pendampingan psikologis baik itu ada konselor. Dan yang ketiga adalah layanan medis,” ucap Suharti.
Namun sayangnya, selama ini korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan tidak diinginkan belum bisa mengakses layanan aborsi aman, salah satunya adalah karena minimnya fasilitas kesehatan yang melayani permintaan tersebut.
“Layanan aborsi aman mana ada di kita? Meski di UU Kesehatan ada (aturannya),” ucap Uli Pangaribuan.
Baca Juga: Mengenal RUTH, Rumah Aman untuk Perempuan Korban Kehamilan Tak Diinginkan
“Layanannya nggak ada walaupun ada aturannya, tapi layanannya nggak ada padahal udah ada UU Kesehatan kemudian sudah difasilitasi untuk tenaga medisnya,” lanjutnya.
Tidak adanya layanan aborsi aman yang legal di Indonesia ini tentu menambah trauma fisik dan psikis perempuan korban kekerasan seksual yang harus berdamai dengan kondisi dirinya mengandung, bahkan sampai melahirkan anak hasil perkosaan.
“Di saat yang sama, perempuan ini sendiri masih mengalami trauma perkosaan kekerasan seksual. Secara fisik membawa kehamilan yang tidak diinginkan, secara mental dia masih trauma dan juga memikirkan kehamilan dan selanjutnya. Secara sosial masyarakat masih ketika terjadi kehamilan tidak diinginkan bahkan korban perkosaan yang sering disalahkan perempuan. Bagaimana berharap dia bisa menjadi ibu yang akan mengurus anaknya hingga menjadi generasi yang berkualitas?” ucap Marcia Soumokil.
Aborsi Aman dan Pandangan Agama
Salah satu tantangan yang dihadapi ketika membicarakan layanan aborsi aman untuk perempuan korban kekerasan seksual adalah agama. Bagaimana kemudian agama memandang aborsi ini.
Sebelumnya, Kawan Puan perlu tahu dulu apa itu aborsi aman yang dibutuhkan oleh perempuan korban kekerasan seksual agar mereka bisa memulihkan kondisi fisik maupun psikis pasca trauma perkosaan.
“Aborsi aman, bermutu, dan bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan tanpa paksaan dan dengan persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional, mengikuti standar profesi pelayanan yang berlaku, tidak diskriminatif, atau tanpa mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis,” tulis para peneliti ICJR dalam buku “Penyelenggaraan Kebijakan Aborsi Aman, Bermutu, dan Bertanggung Jawab Sesuai dengan UU Kesehatan di Indonesia.”
Aborsi kerap dihubungkan dengan agama sehingga pengadaan layanan aborsi aman untuk korban perkosaan menjadi sulit. Salah satu tantangannya pun dari tenaga kesehatan yang enggan membantu aborsi karena dikaitkan dengan agama.
Perihal ini, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyatakan pendapatnya tentang aborsi aman untuk korban kekerasan seksual dengan konteks sebagai perlindungan jiwa perempuan yang menjadi korban dan mengalami kehamilan tidak diinginkan.
"Kalau kita bicara aborsi aman bisa orang bertanya lebih tinggi, tapi kalau perlindungan jiwa clue-nya itu lebih mudah diterima, karena agama melindungi jiwa siapa pun, khususnya korban," terang Masruchah dari KUPI.
Masruchah juga menegaskan bahwa mereka selalu mempertimbangkan pengalaman korban dalam hal pembuatan fatwa. "Dan fatwa KUPI selalu bicara mengutamakan korban, testimoni korban menjadi pertimbangan," ujar Masruchah.
Dalam Kongres KUPI yang digelar bulan November 2022, KUPI pun telah mengeluarkan sikap keagamaan terhadap perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan.
“Hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan/ atau psikiatris,” bunyi sikap keagamaan KUPI.
Semua pihak harus turut melindungi jiwa korban dengan cara yang tidak semakin menambah dampak buruk atau mafsadat bagi korban. Hukum bagi pihak yang memiliki tanggung jawab dan kemampuan namun memilih tidak melakukan perlindungan jiwa terhadap perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah haram.
Dalam hal ini, KUPI pun telah menegaskan sikap keagamaannya terkait aborsi aman untuk korban kekerasan seksual yakni sebagai upaya perlindungan jiwa terhadap perempuan yang menjadi korban tersebut. Di mana perlindungan jiwa ini pun termasuk menghentikan kehamilan jika itu memang mampu memberikan manfaat baik untuknya.
KUPI bahkan telah mengeluarkan sikap keagamaan tentang aborsi aman harusnya tersedia dan boleh dilakukan pada usia kandungan berapa pun, tidak terbatas 6 minggu atau 40 hari yang selama ini dipakai sebagai patokan.
Hal ini senada dengan hasil penelitian ICJR yang mengatakan, “Dalam upaya mengatur penyelenggaraan layanan pun tidak dimungkinkan dengan waktu yang hanya 40 hari, mekanisme rujukan dan syarat-syarat yang harus dilalui jelas membutuhkan waktu lebih dari 40 hari.
Pada akhirnya, meski aborsi aman untuk korban kekerasan seksual ini pernah disebut dalam Undang-Undang, sudah ada algoritma tatalaksana yang dikeluarkan oleh Kemenkes, bahkan KUPI dari segi agama pun sudah mengeluarkan pernyataan keagamaan, namun layanan ini tetap belum tersedia secara resmi dan legal.
Baca Juga: Bantu Perempuan dengan KTD, Rumah RUTH Justru Dapat Stigma Negatif
(*)