Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Ketika mekanisme tersebut diserahkan pada parpol lewat sistem proporsional tertutup, maka jaminan untuk merepresentasikan perempuan secara beragam pastinya akan surut bahkan hilang.
Sebab sejak era politik Orde Baru (1966-1998) telah ada semacam pembiasaan budaya politik yang langgeng hingga saat ini dalam proses rekrutmen dan kaderisasi perempuan berdasarkan kedekatan dengan pengurus partai, alih-alih melakukan perekrutan dan pemberian pendidikan politik secara terbuka pada perempuan.
Baca Juga: Tertarik Terjun ke Dunia Politik? Kenali Peran dan Tanggung Jawab Politikus
Hal ini kian diperparah dengan tradisi patriarki malestream dalam partai yang selalu mengedepankan anggapan bahwa kader laki-laki lebih cakap dalam berpolitik ketimbang perempuan.
Identitas perempuan memunculkan prasangka gender yang melekatkan bahwa perempuan pada dasarnya memiliki peran terbatas hanya pada ranah tertentu (seperti domestik, yang berkaitan dengan bidang perawatan/nurturing, hingga kecantikan).
Tak jarang pula perempuan bahkan dianggap lebih memiliki nilai ketika dia menjadi pendamping politisi laki-laki.
Dengan demikian, politisi perempuan sudah lebih dulu kalah dalam seleksi internal parpol ketika bersaing dengan kader laki-laki.
Sebab secara struktural dan kultural, perempuan yang terlibat dalam politik telah lebih dulu disematkan prasangka gender yang bias dan diskriminatif.
Proporsional Terbuka yang Mendorong Partisipasi Politik Perempuan
Penerapan sistem proporsional terbuka yang selama ini diterapkan sejak Pemilu 2009 dianggap sebagai sistem yang sarat kepentingan kapitalis, oligarkis, dan pastinya menghabiskan begitu banyak ongkos politik.