Parapuan.co - Kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren (ponpes) kembali terjadi.
Kali ini terjadi di ponses di Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah oleh Wildan Mashuri Amin.
Melansir Kompas.com, Wildan Mashuri adalah pengasuh pondok yang telah tega melakukan kekerasan seksual pada 22 santrinya.
Hal itu telah dikonfirmasi Polres Batang, Jumat (14/4/2023) malam.
"Jumlah keseluruhan korban Wildan Mashuri adalah 22 orang santriwati," tulis keterangan Polres Batang.
Berikut fakta terkait kasus kekerasan seksual di ponpes di Batang.
1. Jumlah korban
Sebelumnya, dilaporkan korban Wildan Mashuri berjumlah 15 orang, namun angka ini bertambah karena pada Selasa (11/4/2023), ada dua korban melapor.
Belum selesai, masih ada laporan santriwati yang mengaku sebagai korban, sehingga total ada 22 santriwati korban kekerasan seksual Wildan.
Baca Juga: Viral Santri Ponpes Gontor Tewas, Disebut Kelelahan Padahal Jadi Korban Kekerasan
Di antaranya 17 orang diperkosa, empat dicabuli, dan satu belum menjalani visum.
Kini para korban telah mendapat pendampingan dari dinas terkait untuk penyembuhan trauma.
2. Berbohong telah dinikah siri
Wildan melakukan aksi busuknya dengan menipu korban dan mengiming-imingi mereka karomah.
Modusnya, Wildan memanggil korban ke ruangan di ponpes. Di situ Wildan menipu mereka dengan menyebut soal buang sial.
Kemudian setelah melakukan aksi bejatnya, Wildan pura-pura telah menikahi korban secara siri.
Hal ini dilakukan agar korban tidak melaporkan kejahatan Wildan pada orang tua atau orang lain.
"Para korban ini dibilang akan mendapat karomah serta buang sial, lalu juga diberikan sangu atau jajan dan tidak boleh lapor sudah sah sebagai suami istri ke orang tua," terang Kapolda Jateng, Irjen Pol Ahmad Luthfi.
Aksi ini Wildan lakukan sejak tahun 2019 sehingga kini ia telah ditetapkan sebagai tersangka.
Baca Juga: Kemenag Bekukan Ponpes di Jombang Buntut Kasus Dugaan Pelecehan Santri oleh MSA
3. Ancaman hukuman
Wildan dijerat dengan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun.
Namun, hukuman ini bisa bertambah kalau terbukti terjadi berulang-ulang.
"Kalau berulang-ulang bisa ditambah sepertiga masa hukuman maksimal 20 tahun, apalagi mereka tenaga pengajar," tegas Luthfi.
(*)