Parapuan.co - Kawan Puan, sebentar lagi kita akan memperingati Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei 2023.
Hari Buruh diperingati dengan tujuan untuk mengingat perjuangan para buruh terhadap setiap pelanggaran hak-hak pekerja.
Hak-hak buruh yang wajib disuarakan dalam peringatan Hari Buruh pun beragam, salah satunya hak pekerja perempuan.
Sebagaimana kita tahu, masih banyak pekerja perempuan tidak paham soal hak-haknya dalam bekerja.
Padahal, ada beberapa aturan mengatur soal hak perempuan dalam bekerja.
Hak-hak tersebut tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antaranya soal hak cuti haid, hak cuti melahirkan, dan juga hak cuti keguguran.
Awalnya, banyak orang mengira hak pekerja perempuan tersebut dihapuskan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan.
Nyatanya, klaim bahwa hak-hak pekerja perempuan dalam UU Cipta Kerja dihapuskan adalah hoaks.
Melansir Kominfo, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memastikan bahwa cuti haid dan melahirkan tidak dihapus.
Baca Juga: Sejarah Hari Buruh Internasional atau May Day, Diperingati Setiap 1 Mei
Meski tidak tertuang dalam UU Cipta Kerja, pekerja perempuan tetap bisa mendapatkan hak tersebut menggunakan aturan UU Nomor 13 Tahun 2003.
Hal itu juga ditegaskan oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan Jamsos) Indah Anggoro Putri, dalam keterangan pers tentang Perppu Cipta Kerja pada Jumat (6/1/2023).
Melansir Indonesia.go.id, Indah Anggoro Putri menjelaskan bahwa ketentuan cuti haid dan melahirkan bagi pegawai perempuan tidak hilang, masih ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Karena tidak ada perubahan, maka cuti haid dan melahirkan tidak dituangkan dalam Perppu 2/2022, sehingga acuan yang digunakan adalah UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 81 dan Pasal 82.
Adapun hak-hak pekerja perempuan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 melansir hukumonline.com ialah sebagai berikut:
1. Cuti Haid
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diatur poin mengenai cuti haid pekerja perempuan.
Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan :
Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
Baca Juga: Hari Buruh Internasional, Simak 6 Tuntutan Komnas Perempuan untuk Lindungi Hak Pekerja Perempuan
Artinya, pekerja perempuan berhak mendapat cuti haid selama 2 hari yakni pada hari pertama dan kedua haid.
Meski demikian, pelaksanaan cuti haid sendiri diatur lebih lenjut dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja.
Saat cuti haid ini, pekerja perempuan tetap mendapatkan gaji sesuai dengan pasal 93 ayat (1) huruf b UU Ketenagakerjaan yang menyebut pengusaha wajib membayar upah karyawan perempuan yang sakit karena haid.
2. Cuti Melahirkan
Aturan cuti melahirkan diketahui tertuang dalam Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Artinya, lama cuti melahirkan bagi pekerja perempuan total adalah 3 bulan.
Lama istirahat ini bisa diperpanjang jika ada kasus tertentu berdasarkan surat keterangan dokter.
Baca Juga: Peringati May Day 2021, Ini 2 Tuntutan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia
Dan karyawan perempuan yang menggunakan hak cuti melahirkannya tetap berhak mendapat gaji.
3. Cuti Keguguran
Karyawan perempuan yang mengalami keguguran kandungan juga berhak memperoleh cuti keguguran sebagaimana Pasal 82 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Pasal 82 ayat (2) UU Ketenagakerjaan:
Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Sama seperti cuti haid dan melahirkan, karyawan perempuan yang menggunakan hak cuti keguguran berhak mendapat upah penuh.
Memang, aturan hak pekerja perempuan seperti yang tertuang di UU No.13 tahun 2003 di atas tidak termuat dalam UU Cipta Kerja.
Hal ini membuat pro dan kontra di masyarakat karena hak perempuan seakan tidak memiliki payung hukum yang jelas.
Karenanya, penting bagi para pekerja perempuan untuk memastikan hak-hak tersebut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.
Baca Juga: Masih Pro Kontra, Ternyata Ini Urgensi Terbitnya Perppu Cipta Kerja
(*)