Tujuan Terkait

Hari Buruh, 6 Masalah Pekerja Perempuan yang Masih Jadi Catatan

Linda Fitria - Senin, 1 Mei 2023
Foto buruh melakukan aksi peringatan Hari Buruh Internasional 2019 di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Rabu (1/5/2019).
Foto buruh melakukan aksi peringatan Hari Buruh Internasional 2019 di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Rabu (1/5/2019). KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Parapuan.co - Kawan Puan, tanggal 1 Mei ini diperingati sebagai Hari Buruh 2023.

Momen Hari Buruh 2023 ini diadakan sebagai momentum para buruh menyuarakan hak-haknya dalam bekerja, tak terkecuali para pekerja perempuan.

Sebagaimana kita tahu, dalam praktiknya masih banyak permasalahan membelenggu para buruh perempuan hingga peringatan Hari Buruh 2023 ini.

Karenanya, penting bagi kita untuk tahu apa saja masalah pekerja perempuan Indonesia yang masih jadi catatan besar.

Beberapa masalah pekerja perempuan ini pun turut diungkap Komnas Perempuan saat dihubungi PARAPUAN, Jumat (28/4/2023).

Menurut Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan agar buruh perempuan sejahtera. Apa saja?

1. Dominasi laki-laki di sektor formal

Sampai saat ini, budaya patriarki masih menempatkan perempuan lebih banyak bekerja di sektor informal ketimbang formal.

Menurut Sakernas BPS 2022, sektor formal masih didominasi laki-laki ketimbang perempuan dengan presentase 43,97% untuk laki-laki dan 35,57% untuk perempuan.

Baca Juga: Hari Buruh 2023, Simak Pengertian dan Siapa Saja yang Termasuk Buruh

Sedangkan sektor informal banyak ditempati perempuan sehingga mereka hanya bisa bekerja paruh waktu.

Hal ini jadi masalah karena akhirnya buruh perempuan di sektor informal mendapat upah rendah dan tanpa perlindungan sosial serta hak normatif tenaga kerja.

2. Diskriminasi buruh perempuan

Menurut Siti Aminah, salah satu bentuk diskriminasi yang diterima buruh perempuan adalah soal upah.

"Diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi, di antaranya rata-rata upah buruh laki-laki sebesar Rp3,33 juta per bulan, sedangkan buruh perempuan sebesar Rp2,59 juta."

"Hal ini menunjukkan bayaran diberikan lebih mahal kepada laki laki daripada perempuan," terang Siti Aminah melalui pesan singkat.

3. Pelanggaran hak maternitas

Selain itu, masih banyak pelanggaran atas hak maternitas yang dialami buruh perempuan. Padahal hak tersebut diatur dalam undang-undang.

"Masih banyak pula perusahaan yang belum mengakomodir hak kesehatan reproduksi perempuan, misalnya pemberian cuti haid, hamil, melahirkan atau gugur kandungan, serta penyediaan sarana laktasi dan tempat penitipan anak," imbuh Siti Aminah.

Baca Juga: Biografi Marsinah, Perempuan Pembela Hak Buruh yang Meninggal Dibunuh

Masalah ini bisa berujung pada hilangnya pekerjaan perempuan karena pemutusan kontrak atau tidak dilanjutkannya kontrak kerja.

4. Pelecehan seksual

Tidak bisa dimungkiri, masih banyak kejadian pelecehan yang dialami para pekerja perempuan.

Layanan seksual dijadikan alat untuk promosi jabatan/reward atau jika menolak memberikan layanan seksual akan didemosi atau dinilai performanya tidak baik.

Kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja ini menyebabkan buruh perempuan tertekan, produktivitas menurun, kesehatan mental terganggu dan menyebabkan keluarnya perempuan dari pekerjaan.

Berbagai ancaman tersebut masih ada sampai sekarang dan dialami banyak buruh perempuan di Indonesia.

5. Dampak kekerasan berbasis gender pada perempuan

Banyak perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Segala macam bentuk kekerasan ini akhirnya membuat produktivitas perempuan menurun.

Mereka yang menjadi korban di luar tempat kerja akan banyak menjalani pemulihan fisik maupun psikologis.

Baca Juga: Hari Buruh 2023, Ini Solusi Kemnaker untuk Kesenjangan Lowongan Kerja Perempuan

Belum lagi jika harus mengurus berbagai klaim keadilan melalui proses peradilan.

Hal itu tentu menyita waktu dan membuat perfoma kerja para korban dinilai menurun. Akhirnya, mereka memilih untuk diam dan tidak melapor karena khawatir akan kehilangan pekerjaan.

6. Pekerjaan sektor domestik dipandang sebelah mata

Banyak pekerjaan di sektor domestik tidak dihargai layaknya pekerjaan di sektor publik.

Sektor publik dinilai produktif karena menghasilkan upah atau bayaran, ini membuat sektor domestik dinilai tidak produktif.

Pekerjaan kerumahtanggaan dan perawatan (merawat orang sakit, lansia, disabilitas atau anak) dinilai lebih rendah.

"Hal ini menyebabkan perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga tidak dihargai secara setara dan membangun inferioritas perempuan."

"Begitupun pekerjaan pekerja rumah tangga (PRT) tidak diakui sebagai pekerja dan tidak dijamin hak-hak dasarnya," pungkas Siti Aminah.

Baca Juga: Hari Buruh 2023, Ini Hak Pekerja Perempuan dari Cuti Haid hingga Melahirkan

(*)

Penulis:
Editor: Linda Fitria

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.



REKOMENDASI HARI INI

Dobrak Stigma, Logina Salah Kontestan Pertama Miss Universe dengan Vitiligo dan Status Ibu