“Temuan inilah yang memicu kami untuk membuat penelitian yang dapat lebih memahami proses terjadinya penyakit
(patogenesis) SOPK, khususnya pada pasien nir-obese sehigga diharapkan dapat mengembangkan tatalaksana yang tepat di kemudian hari,” jelas dr. Gita.
Salah satu yang molekul yang menjadi perhatian dalam peningkatan luteinizing hormone (LH) pada pasien SOPK adalah kisspeptin.
Kisspeptin berfungsi untuk menstimulasi pengeluaran gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang akan meregulasi pengeluaran 2 hormon penting: follicle stimulating hormone (FSH) dan LH dari kelenjar hipofisis.
LH dan FSH ini akan memengaruhi indung telur (ovarium) sehingga terjadi perkembangan telur (folikel), terjadinya
ovulasi, sehingga haid menjadi teratur dan memungkinkan terjadinya proses kehamilan.
“Pengeluaran kisspeptin dipengaruhi oleh neurokinin B (NKB) dan dinorfin dari neuron KNDy di bagian otak (hipotalamus). Diperkirakan gangguan keseimbangan kisspeptin, NKB dan
dinorfin ini yang akan menyebabkan peningkatan GnRH dan peningkatan rasio LH/FSH.
"Peningkatan rasio LH/FSH inilah yang akan menyebabkan indung telur mengeluarkan hormon androgen, hormon yang biasanya tinggi pada laki-laki, dan tidak adanya ovulasi. Sehingga terjadi gangguan haid, tanda-tanda kelebihan hormon androgen (tumbuhnya kumis, jerawat atau rambut rontok) serta infertilitas pada pasien SOPK,” ungkapnya.
Ia kembali menambahkan, pada penelitian ini, ditemukan terdapat 2 mekanisme yang mungkin menyebabkan peningkatan rasio LH/FSH pada pasien SOPK nir-obese.
Yang pertama adalah penurunan dinorfin yang diperkirakan akan memengaruhi peningkatan GnRH secara langsung di otak.
Sedangkan yang kedua adalah peningkatan kadar anti-Mullerian hormone (AMH) yang selain secara langsung menyebabkan terhentinya pertumbuhan telur akibat penurunan enzim aromatase, juga secara langsung memengaruhi peningkatan GnRH.
“Dengan demikian, kedua hormon ini diperkirakan merupakan kunci perkembangan penyakit pada pasien SOPK nir-obese. Penemuan ini akan menjadi awal bagi pengembangan
tatalaksana pada pasien SOPK, khususnya nir-obese, berdasarkan kelainan yang mendasarinya, bukan hanya bersifat simtomatis atau mengobati gejala saja,” kata dr. Gita.
Lebih jauh lagi, analisis genetik (polimorfisme) pada gen KISS menemukan adanya mutasi pada 2 tempat yang akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit SOPK.
“Terdapat perbedaan bermakna kedua varian gen KISS1 pada pasien SOK nir-obese dengan perempuan normal. Adanya kelainan gen tersebut akan meningkatkan risiko seorang
perempuan terkena SOPK sampai 2x lipat,” tambahnya.
“Sebagai simpulan, ditemukan hubungan penurunan dinorfin dan peningkatan AMH dengan peningkatan rasio LH/FSH pada pasien SOPK nir-obese. Polimorfisme pada gen KISS1 meningkatkan risiko terjadinya SOPK pada perempuan di Indonesia, sedangkan tidak ditemukan adanya perubahan metilasi DNA pada gen KISS1.
"Berdasarkan hasil penelitian ini, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi terapi terhadap dinorfin dengan penggunaan obat-obatan yang bersifat agonis terhadap reseptor dinorfin dan antagonis terhadap reseptor AMH untuk mengetahui potensi terapi pada pasien SOPK nir-obese,” tutupnya.
(*)