Seleksi Ketat Pembuatan Paspor untuk Perempuan Demi Cegah TPPO, Solutif atau Diskriminatif?

Rizka Rachmania - Jumat, 11 Agustus 2023
Dirjen Imigrasi seleksi ketat proses pengajuan dan pembuatan paspor untuk perempuan demi cegah TPPO
Dirjen Imigrasi seleksi ketat proses pengajuan dan pembuatan paspor untuk perempuan demi cegah TPPO BanarTABS

Parapuan.co - Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi menerapkan seleksi ketat pada proses pengajuan dan pembuatan paspor untuk perempuan demi mencegah tindak pidana penjualan orang (TPPO) di luar negeri.

Seleksi ketat pada proses pengajuan paspor untuk perempuan itu berlaku untuk perempuan berusia 17 sampai 45 tahun yang tidak memiliki data diri jelas.

Pihak imigrasi akan langsung menolak permohonan paspor untuk perempuan jika identitasnya tidak jelas.

"Sekarang untuk perempuan, usia 17 hingga 45 tahun secara profil tidak jelas, saya minta kantor imigrasi untuk menolak permintaan paspornya," kata Silmy Karim, Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi, melansir dari Kompas.comJumat, (11/8/2023).

Alasan Seleksi Ketat Pembuatan Paspor untuk Perempuan

Silmy mengungkapkan bahwa pembuatan paspor untuk perempuan dilakukan seleksi ketat karena ada banyak perempuan yang mendapatkan perlakuan kejam saat bekerja di luar negeri.

Silmy juga mengatakan kalau Ditjen Imigrasi berusaha mengamankan kaum rentan yang memiliki tujuan ke beberapa negara Asia dan Timur Tengah.

"Saya amankan dulu yang rentan untuk tidak diberikan paspor. Apalagi kalau tujuannya itu Kamboja, Malaysia, Myanmar, terus beberapa negara Timur Tengah. Itu kami pastikan tolak, profiling secara ketat, tolak," tegasnya.

Ditjen Imigrasi pun akan melakukan sosialisasi dan edukasi hingga ke daerah untuk masyarakat yang ingin bekerja ke luar negeri.

Baca Juga: Penindasan dan Perlawanan Perempuan di Ranah Teknologi

Ia melihat permasalahan ini harus diselesaikan secara komprehensif, baik itu dari ketersediaan lapangan pekerjaan hingga informasi kepada pemohon yang ingin membuat paspor.

Di samping itu, Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Non TPI Jakarta Selatan sebelumnya sudah memperketat penerbitan paspor demi memberantas tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Joko Surono, Koordinator Verifikasi Dokumen Perjalanan pada Direktorat Lalu Lintas Keimigrasian, mengatakan bahwa pihaknya akan memperketat tahapan wawancara bagi setiap orang yang mengajukan paspor.

"Peran imigrasi untuk mencegah TPPO adalah melakukan wawancara mendalam kepada setiap pihak yang mengajukan pembuatan paspor," ungkapnya.

Menurutnya, wawancara mendalam bisa dipakai pihak imigrasi untuk mengetahui alasan sesungguhnya di balik pengajuan paspor.

Pengetatan Paspor untuk Perempuan: Solutif atau Diskriminatif

Dirjen Imigrasi menyebutkan bahwa seleksi ketat pembuatan paspor hanya berlaku untuk perempuan, namun tidak laki-laki.

Alasannya adalah karena perempuan banyak mendapatkan perlakuan kejam saat bekerja di luar negeri.

Padahal faktanya, laki-laki yang bekerja di luar negeri pun tak lepas dari risiko jadi korban kejahatan, termasuk tindak pidana penjualan orang (TPPO).

Baca Juga: Mayoritasnya Perempuan, Komunitas BTS ARMY Indonesia Hadapi Komentar Bias Gender

  

Masih melansir dari Kompas.comSatuan Tugas (Satgas) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sampai 20 Juni 2023 telah menangani 456 laporan polisi terkait TPPO.

"Dari ratusan laporan polisi yang ditangani, Satgas TPPO telah menangkap 532 tersangka," kata Brigjen Ahmad Ramadhan, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri.

Tercatat ada 1.572 korban yang berhasil diselamatkan dalam kurun waktu itu, dengan rincian 711 korban perempuan dewasa dan 86 perempuan anak, serta 731 koban laki-laki dewasa dan 44 korban laki-laki anak.

Jika dilihat dari jumlah korban yang diselamatkan, laki-laki dewasa pun sebenarnya tidak kalah rentan dari perempuan untuk menjadi korban TPPO.

Alhasil, seharusnya seleksi ketat terhadap proses pengajuan dan pembuatan paspor tidak hanya diberlakukan untuk perempuan, namun laki-laki juga.

Data Migrant Care pun menunjukkan bahwa dari 240 kasus indikasi TPPO yang diadukan kepada pihaknya sepanjang 2022, lebih dari 80% korbannya adalah laki-laki, seperti melansir dari BBC.com.

Siti Badriyah, Koordinator Advokasi Migrant Care, pun menyoroti masalah pengetatan pembuatan paspor yang hanya ditujukan untuk perempuan, namun tidak untuk laki-laki.

"Mestinya kalau mau diperketat itu ya semuanya diperketat. Apalagi di beberapa negara tujuan seperti Kamboja itu banyak korban TPPO laki-laki untuk dijadikan scammer, judi online," ungkapnya.

"Mereka sama saja dengan korban perempuan, sama-sama susah keluar dari lingkungan kerja yang tidak aman," tegasnya.

Menempatkan Perempuan Seolah Jadi Sumber Masalah

Citra, seorang karyawan swasta, mengatakan bahwa pengetatan pembuatan paspor untuk perempuan bukan sebuah kebijakan yang melindungi.

Ia menyampaikan bahwa selain seleksi ketat pada pembuatan paspornya, petugas imigrasi pun harusnya bisa mendeteksi orang-orang tertentu yang misalnya jadi korban TPPO atau human trafficking.

"Selain pengetatan paspornya, yang juga penting adalah di imigrasi keberangkatan staf imigrasi ini cukup aware nggak, bisa mendeteksi orang-orang tertentu itu adalah korban human trafficking," ucapnya pada PARAPUAN, Jumat, (11/8/2023).

"Gimmick-nya, nervous , atau gerak tubuhnya itu bisa dikenali," sambungnya.

Salah seorang Kawan Puan yang tidak ingin disebutkan namanya pun mengatakan bahwa seleksi ketat pembuatan paspor yang hanya ditujukan untuk perempuan itu justru menjadikan perempuan seolah jadi sumber masalahnya.

"Kalau dibikin pengetatan tuh, kita (perempuan) jadi kayak, jadi sumber masalahnya, padahal kan sebenarnya bukan ya," ucapnya pada PARAPUAN.

"Itu pasti bikin orang bertanya-tanya, 'Lah, masalahnya kan bukan gue ya, tapi kenapa gue yang harus diketatin ya," pungkasnya.

Baca Juga: Menilik Pasal-Pasal Kontroversial KUHP terhadap Kebebasan Perempuan

(*)

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania


REKOMENDASI HARI INI

Seleksi Ketat Pembuatan Paspor untuk Perempuan Demi Cegah TPPO, Solutif atau Diskriminatif?