Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Sebelum abad ke-21, handphone merupakan barang mewah yang hanya dimiliki sebagian orang, dari tingkat ekonomi menengah ke atas.
Namun masuk ke era tahun 2000-an, ponsel kian menjadi barang yang lumrah. Berbagai kalangan punya, termasuk anak di bawah umur.
Menurut Badan Pusat Statistik di 2022, sedikitnya 67,88% penduduk Indonesia yang berusia lima tahun ke atas, sudah memiliki handphone.
Di luar soal kepemilikannya, hadirnya sebuah teknologi membawa dampak positif maupun negatif.
Positifnya, masyarakat Indonesia kian melek teknologi dan makin terhubung satu sama lain. Komunikasi dapat dilakukan lebih terbuka.
Negatifnya, penggunaan ponsel yang merajalela menimbulkan banyak persoalan serius, seperti perundungan siber (cyberbullying), pencurian identitas, dan pembobolan kartu kredit.
Salah satu yang sering diabaikan adalah masalah interupsi komunikasi akibat ponsel atau gadget. Ini sering disebut sebagai technoference.
Pada 2015, Brandon T. McDaniel menulis sebuah artikel berjudul, "Technoference: Everyday Intrusions and Interruptions of Technology in Couple and Family Relationships”.
Di dalamnya tertulis bahwa technoference (yang merupakan kepanjangan dari technological interference), merupakan saat dan cara perangkat teknologi mengganggu, menginterupsi, atau menghalangi komunikasi dan interaksi pasangan maupun keluarga, dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Bagaimana Orangtua dan Anak Berdamai Akrabi Gadget Sejak Dini