Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Kontes kecantikan (beauty pageant) di Indonesia kini tengah menjadi sorotan karena dugaan kasus pelecehan seksual finalis Miss Universe.
Sebab salah satu agenda yang disebut “body checking” dalam kontes kecantikan ini ditengarai sebagai bentuk tindakan kekerasan seksual yang memaksa kontestan untuk melepas pakaian dan berfoto tanpa busana.
Bahkan sebenarnya agenda ini tidak ada dalam jadwal resmi yang diberitahukan kepada kontestan.
Dalam proses body checking, enam kontestan menceritakan pengalamannya yang dipaksa, sembari dibentak, untuk melepaskan pakaian dan berpose hanya menggunakan celana dalam.
Oleh pihak juri, proses ini disebutkan sebagai upaya embrace yourself agar kontestan memiliki rasa bangga dengan tubuhnya.
Penyelenggaraan body checking ini telah sejak semula salah.
Pertama, jika benar klaim yang menyebutkan bahwa pihak penyelenggara tidak pernah secara resmi menginformasikan kepada kontestan mengenai jadwal body checking, maka dapat disimpulkan kegiatan ini bersifat ilegal.
Kedua, segala hal yang berhubungan dengan kepemilikan pribadi (privat) dan hendak diekspos di depan publik HARUS lebih dulu mendapat persetujuan/izin (consent) dari sang pemilik.
Dalam hal ini, kepemilikan tubuh adalah sesuatu yang bersifat sangat personal.
Baca Juga: Organisasi Miss Universe Putuskan Kontrak dengan PT Capella Swastika Karya
Jika panitia penyelenggara sebelumnya tidak mengajukan izin untuk mengakses bagian tubuh kontestan yang bersifat privat, dan tidak ada pernyataan persetujuan dari kontestan untuk memberikan akses tersebut kepada pihak juri, maka hal tersebut merupakan kekerasan seksual.
Bila sungguh terjadi, maka semakin lengkap dosa panitia penyelenggara jika menggunakan paksaan akibat adanya ketimpangan relasi kuasa yang menekankan rasa takut kontestan bila tidak mengikuti proses body checking tersebut.
Itu sama saja dengan penyerangan seksual (sexual assault) secara verbal yang pada akhirnya menyebabkan korban merasa tidak berdaya dan terpaksa mengikuti keinginan juri.
Objektifikasi Tubuh Perempuan di Industri Hiburan
Tidak dapat dipungkiri jika pelecehan dapat terjadi dalam beragam bentuk dan di berbagai tempat.
Namun industri hiburan merupakan salah satu sektor paling rawan pelecehan tubuh sebab kerap dianggap sebagai bagian dari seni hiburan.
Pelecehan yang sering dialami oleh para pelaku industri hiburan adalah yang berkaitan dengan tubuh.
Bagi perempuan, proporsi tubuh tertentu merupakan ‘persyaratan’ mutlak untuk menjadi entertainer, misalnya memiliki payudara yang berisi, pinggul yang semok, dan tubuh langsing.
Apabila tidak memiliki kriteria-kriteria tersebut, perempuan tetap bisa menjadi entertainer, hanya saja diposisikan sebagai pihak yang ditertawakan akibat kekurangan fisiknya, seperti menertawakan giginya yang tonggos, kulit yang berwarna gelap, atau tubuh yang gendut.
Baca Juga: Ramai Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Finalis Miss Universe Indonesia, Begini Kronologinya
Tubuh perempuan dalam bentuk sempurna dan kekurangan sekalipun hanya merupakan komoditas di dunia entertainment sebagai objek yang dapat diseksualisasikan atau dijadikan bahan tertawaan.
Ekosistem dalam industri hiburan memposisikan perempuan bukan sebagai subjek yang memiliki kuasa penuh atas bagaimana mereka menampilkan tubuhnya di ruang publik.
Tubuh perempuan dikomodifikasi untuk mengikuti kemauan audiens yang mayoritas menginginkan adanya keindahan dan sensualitas.
Dan seksualitas selalu menjual! Karena memiliki news value begitu besar yang mengundang audiens untuk ramai-ramai menyaksikan konten hiburan tersebut.
Di mana ada program yang ramai dikonsumsi publik, di situ lah para pengiklan berdatangan yang tentunya semakin menambah pundi-pundi korporasi entertainment.
Dehumanisasi Perempuan Entertainer
Seringkali demi meraih dan mempertahankan popularitas di dunia hiburan, banyak perempuan yang diam ketika mengalami pelecehan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan diamnya para korban pelecehan seksual di industri entertainment.
Pertama, takut akan kehilangan kesempatan untuk meraih mimpi menjadi entertainer terkenal.
Baca Juga: Pencari Lowongan Kerja Perlu Tahu, Ini Tips Laporkan Kekerasan Seksual di Kantor
Di sinilah terjadinya ketimpangan relasi kuasa karena pihak korporasi hiburan yang direpresentasikan oleh produser, program director, sponsor, dan stakeholder lainnya memiliki otoritas penuh untuk memutuskan kontrak dan mengganti talent.
Kebungkaman terhadap pelecehan tersebut adalah cara untuk tetap mempertahankan karier di industri hiburan.
Faktor kedua disebabkan oleh budaya patriarki yang menyalahkan korban pelecehan alih-alih mengutuk keras tindakan si pelaku.
Victim blaming ini semakin diperkuat dengan labeling dan stigma yang disematkan kepada para perempuan entertainer yang kerap ditunjukkan di media dengan menjalani hidup serba glamor dan tampil dengan outfit yang dianggap seksi.
Oleh karenanya, sering kali pelapor kekerasan seksual telah dituduh sebagai pihak yang pantas menerima pelecehan akibat gaya hidup dan penampilan mereka. Nilai-nilai religius konservatif semakin memperteguh pandangan ini.
Ini adalah ironi yang memuakkan! Sebab demand untuk menampilkan perempuan entertainer adalah dengan menampilkan kecantikan dan proporsional tubuh mereka.
Tetapi ketika perempuan tersebut dilecehkan, publik pula yang menyalahkan mereka sebagai penyebab korsletnya selangkangan kaum Adam, sehingga pantas untuk dilecehkan.
Mengawal Tuntas Skandal Miss Universe Indonesia
Dua faktor tentang kebungkaman para perempuan di dunia hiburan yang sebelumnya disebutkan merupakan penyebab utama mengapa gerakan global #MeToo tidak memiliki gaung di Indonesia.
Baca Juga: Seperti Cinta Laura dan Widi Vierra, Ini 4 Cara Dukung Perempuan yang Alami Pelecehan Seksual
Kesalahan otak laki-laki yang terletak di selangkangan adalah suatu kewajaran di negeri ini.
Yang tidak wajar adalah para perempuan yang memiliki tubuh yang membuat selangkangan kaum Adam bergetar, sehingga harus diekspos dan dijarah tanpa meminta consent perempuan.
Sejatinya keberhasilan #MeToo menjadi gerakan perempuan global adalah karena semua pesohor dunia hiburan bergerak dan menyuarakan kekerasan seksual yang mereka alami.
Skandal pelecehan di Hollywood yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya seketika berhenti.
Tidak hanya gerakan ini menangkap para predator seksual di industri hiburan, namun juga mengubah tampilan dan citra perempuan di dunia hiburan.
Pasca #MeToo, para perempuan dalam perfilman dan musik mampu menampilkan citra mereka sebagai superhero, supervillain, dan tak melulu sebagai damsell in distress yang membutuhkan pertolongan laki-laki untuk menyelesaikan masalah mereka.
Para musisi perempuan kini tampil berani dalam mengeksplorasi genre musik dan sangar dalam lirik-lirik lagu.
Karena gerakan ini didukung oleh banyak selebritis dan pesohor dunia, gerakan ini mampu menjadi gerakan global, sehingga perlawanan kekerasan seksual tidak terbatas di sektor hiburan.
Baca Juga: Ancaman Karier di Masa Depan Jadi Alasan Korban Kekerasan Seksual di Industri Hiburan Enggan Melapor
Perlawanan terhadap kekerasan seksual juga terjadi di tempat kerja, di ruang publik seperti jalanan, hingga di ruang privat sekalipun seperti di dalam rumah.
Skandal dugaan pelecehan seksual finalis Miss Universe Indonesia bisa jadi merupakan fenomena puncak gunung es yang bisa jadi menyibak banyaknya tindakan kekerasan seksual yang terjadi di dunia hiburan tanah air.
Namun untuk mengungkapkannya, diperlukan tindakan berani sejumlah pesohor perempuan entertainer di negeri ini untuk mampu memimpin wacana perlawanan pelecehan seksual di Indonesia dan mendobrak opini publik tentang victim blaming para penyintas kekerasan seksual.
Tindakan melapor yang dilakukan oleh enam kontestan Miss Universe Indonesia adalah langkah awal yang menakjubkan bagi para perempuan entertainer untuk melawan pelecehan seksual.
Kasus ini harus terus dikawal, dan harus menjadi keseriusan melawan kekerasan seksual di Indonesia agar mengaum dan berhasil seperti #MeToo.
Sekarang tinggal keinginan para selebgram dan siapapun yang menjadi key opinion leader di media sosial maupun media siar untuk mengampanyekan perlawanan terhadap pelecehan seksual.
I Dare You!
(*)