Parapuan.co - Menjaga kesehatan penting untuk dilakukan setiap saat, terlebih di tengah cuaca yang tak menentu seperti sekarang ini.
Meski telah menjaga kesehatan sebaik mungkin, ada kalanya Kawan Puan juga tetap jatuh sakit.
Sebelum memeriksakan diri ke dokter, Kawan Puan mungkin terlebih dulu mencoba pengobatan rumahan.
Atau kamu juga mungkin minum obat yang dijual bebas di warung atau di apotek.
Namun, membeli obat juga tidak bisa sembarangan ya, Kawan Puan. Biasanya kita akan memperhatikan harga dan kualitasnya.
Akan tetapi, baru-baru ini dari sebuah studi, diketahui bahwa ternyata harga dan kualitas obat tidak terlalu berbanding lurus.
Sebuah studi terbaru dari Systematic Tracking of At-Risk Medicines (STARmeds), kolaborasi antara Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam, menemukan bahwa mahalnya harga obat di Indonesia tidak selalu mencerminkan kualitasnya.
Dari 1.724 sampel obat yang diteliti, sepertiga di antaranya memiliki harga yang 10 kali lipat lebih mahal dibandingkan produk sejenis yang paling murah, namun kualitasnya tetap sama.
Penelitian ini diluncurkan seiring dengan cita-cita global untuk memastikan akses terhadap obat-obatan dan vaksin esensial yang aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau bagi semua masyarakat, sesuai dengan rencana pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang ditargetkan tercapai pada tahun 2030.
Baca Juga: 5 Penyebab Buta Warna, Ada Faktor Keturunan hingga Efek Samping Obat
“Kami tergerak melakukan penelitian ini saat publik dan media mulai mempertanyakan kualitas dari obat yang memiliki harga murah atau bahkan gratis. Kami tertarik untuk untuk melihat apakah harga obat akan selalu berbanding lurus dengan kualitasnya," jelas Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes, Co-Principal Investigator of STARmeds, seperti dikutip dari rilis yang diterima PARAPUAN.
Dalam studi ini, sampel diambil dari lima jenis obat, termasuk antibiotik (amoksisilin & cefixime), obat asam urat (allopurinol), obat untuk tekanan darah tinggi (amlodipine), dan steroid (dexamethasone).
Sampel obat dikumpulkan dari rumah sakit, apotek, dan platform e-commerce di wilayah Jabodetabek, serta di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia Bagian Barat, Tengah, dan Timur, termasuk Medan/Labuhan Batu; Surabaya/Kabupaten Malang; dan Kupang/Timor Tengah Selatan.
Hasil mengejutkan menunjukkan bahwa hampir sepertiga obat sampel yang dibeli harganya lebih dari 10 kali harga produk setara termurah, dan 10% sampel obat dengan harga teratas dihargai lebih dari 30 kali harga terendah, meskipun kualitasnya serupa.
Tingkat kegagalan pengujian kualitas obat jauh lebih tinggi pada antibiotik dibandingkan obat-obatan lain.
Prevalensi yang disesuaikan dari antibiotik yang gagal dalam uji laboratorium adalah 6,8%, dua kali lipat lebih dari 3,1% yang diperkirakan untuk non-antibiotik, dengan kebanyakan gagal dalam pengujian disolusi.
“Ini mengkhawatirkan, jika obat antibiotik tidak melepaskan cukup bahan aktif ke aliran darah pasien, mereka mungkin hanya membunuh bakteri yang rentan tetapi tidak membunuh bakteri resisten yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang resisten,” kata Profesor Yusi.
Sebagai informasi tambahan, sebagian besar obat palsu yang terkonfirmasi (15 dari 21 obat) dibeli dari penjual tidak resmi di online marketplace.
Penelitian STARmeds ini mendukung kegiatan rutin sampling obat yang dilakukan oleh BPOM sebagai bagian pengawasan obat di pasar.
STARmeds juga merekomendasikan adanya sistem data informasi obat yang saling terkoneksi antara lembaga pemerintah terkait.
Baca Juga: Viral Obat Tramadol Bikin Warga Karawang Kecanduan, Apa Itu?
(*)