Parapuan.co - Stereotip umum lebih mengasosiasikan kemampuan intelektual tingkat tinggi (kecemerlangan, kejeniusan, dll.) dengan laki-laki dibandingkan perempuan.
Stereotip-stereotip ini menghambat perempuan untuk mengejar banyak karier bergengsi. Artinya, perempuan kurang terwakili dalam bidang-bidang yang anggotanya menghargai kecerdasan (seperti fisika dan filsafat).
Mengutip dari Science.org, hal ini menunjukkan bahwa stereotip ini didukung dan memengaruhi minat anak-anak berusia 6 tahun. Secara khusus, anak perempuan berusia 6 tahun cenderung tidak percaya bahwa anggota gender mereka “benar-benar pintar” dibandingkan anak laki-laki.
Juga pada usia 6 tahun, anak perempuan mulai menghindari aktivitas yang dikatakan ditujukan untuk anak-anak yang “sangat, sangat pintar”.
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa gagasan gender tentang kecerdasan diperoleh sejak dini dan berdampak langsung pada minat anak-anak.
Ada banyak alasan untuk membangun 'literasi ilmu pengetahuan' anak.
Lebih dari sekedar mata pelajaran di sekolah, ilmu pengetahuan memberikan banyak dampak positif bagi perkembangan anak.
Sebagai contoh, penelitian dari Indonesia yang mempelajari 120 siswa sekolah dasar menemukan bahwa pendidikan Science, Technology, Engineering, dan Math (STEM) dapat membentuk keterampilan berpikir kritis mereka.
Selain itu, sebuah analisis konten yang diterbitkan pada tahun 2020 juga menyimpulkan bahwa pembelajaran STEM dapat membekali siswa dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan di industri 4.0 yang mendorong lebih banyak inovasi.
Baca Juga: Gapai Mimpi, 3 Perempuan Ini Berhasil Jadi Engineer di Perusahaan Teknologi
Pada Hari Anak Perempuan Sedunia, Mattel, perusahaan mainan global terkemuka, mengumumkan kerjasamanya dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia, melalui program New Colombo Plan (NCP) serta berbagai universitas terkemuka yakni University of Melbourne (UoM) dan mitranya, Universitas Indonesia (UI), untuk meluncurkan Dream Gap Project di kawasan Asia Pasifik.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami lebih lanjut mengenai fenomena "Dream Gap" di Australia dan Indonesia, serta memahami lebih spesifik mengenai bagaimana stereotip sosial memengaruhi minat anak-anak muda pada bidang STEM.
Penelitian yang dilakukan di Australia dan Indonesia akan fokus pada anak-anak berusia 4-6 tahun, mempelajari bagaimana stereotip sosial dapat membentuk aspirasi anak-anak perempuan dan laki-laki, dan mengidentifikasi dampak dari Dream Gap terkait “Identitas STEM” mereka – yang melibatkan pemikiran tentang diri mereka sebagai individu yang berkaitan dengan STEM yang melibatkan proses keterampilan, kapabilitas dan kecenderungan tertentu.
Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan wawasan kepada para pengambil keputusan untuk membantu mengatasi Dream Gap.
Bidang STEM merupakan topik utama bagi sebagian besar negara dan dianggap sebagai topik yang sangat penting dalam mengikuti perkembangan teknologi yang cepat untuk kemajuan ekonomi dan kemakmuran.
Diperkirakan bahwa para pekerja di masa depan akan menghabiskan lebih dari dua kali lipat waktunya pada tugas dan pekerjaan yang membutuhkan ilmu sains, matematika, dan pemikiran kritis dibandingkan pada saat ini.
Namun, para perempuan tidak masuk ke bidang yang berhubungan dengan STEM dengan tingkat yang sama jika dibandingkan dengan para laki-laki, serta pada umumnya para perempuan juga meremehkan kemampuan dan potensi mereka terhadap ilmu tersebut.
“Di Mattel, kami berkomitmen untuk mendukung pemberdayaan perempuan dan memberikan inspirasi untuk potensi yang tak terbatas pada setiap anak,” kata Paul Faulkner, Direktur Utama dari Mattel-Asia Pasifik, seperti dikutip dari rilis yang diterima PARAPUAN.
Baca Juga: Bintang Beasiswa Hadir Lagi Dukung Perempuan Muda Berkarier di STEM
“Asia Pasifik memiliki peran yang signifikan bagi Mattel, dengan sebagian besar pengoperasian dan pekerjanya berbasis di sini, hal ini tentunya memberikan kami peluang yang besar untuk mendukung anak-anak muda di wilayah ini.
"Dream Gap Project bertujuan untuk mengedukasi masyarakat mengenai bias gender, untuk menghapus hambatan-hambatan di generasi mendatang,” tambahnya.
Mattel meluncurkan Dream Gap Project-nya pada tahun 2018, setelah sebuah penelitian dari New York University (NYU) yang menunjukkan bahwa memasuki usia lima tahun, banyak anak perempuan yang mulai membentuk keyakinan yang membatasi diri mereka dan berpikir bahwa mereka tidak secerdas dan semampu anak laki-laki.
Dream Gap untuk anak-anak perempuan masih ada, tetapi penelitian terbaru dari New York University (NYU) menunjukkan bahwa tantangan tersebut bukan terletak pada kurangnya rasa percaya diri atau semangat pada anak perempuan — kesenjangan seringkali terjadi dalam lingkungan di sekitar mereka.
Meskipun telah ada kemajuan dalam mencapai kesetaraan gender, stereotip dan bias sosial masih ada dan dapat memengaruhi perjalanan dan pilihan masa depan seorang anak perempuan.
Barbie Dream Gap Project adalah misi global yang didedikasikan untuk mengatasi kesenjangan ini dengan menantang stereotip gender dan membantu menghilangkan bias yang menghambat anak perempuan mencapai potensi mereka sepenuhnya.
Untuk pertama kalinya, ekspansi Dream Gap Research Project oleh Mattel di Asia Pasifik akan mempelajari dampak dari faktor-faktor tersebut pada anak perempuan dan anak laki-laki.
Studi Dream Gap akan memberikan wawasan berharga yang akan membantu membentuk kemitraan, membangun diskusi di antara pemangku kepentingan, dan berkontribusi pada pengembangan kebijakan di dalam wilayah tersebut.
Hasil studi untuk Australia dan Indonesia akan tersedia pada Desember 2023, dengan rencana untuk memperluas inisiatif ini ke Jepang pada tahun 2024.
Baca Juga: Hari Internasional Perempuan dan Anak Perempuan dalam Sains: Sebuah Upaya untuk Kesetaraan Gender
(*)