Ironisnya, laporan tersebut meningkat dari tahun ke tahunnya, yang mana pada tahun 2020 terdapat 986,648 laporan kasus.
DQ Institute pun merilis Indeks Keamanan Daring Anak (COSI) 2023, sebuah metrik tingkat nasional yang dirancang untuk membantu negara-negara dalam memantau secara efektif status keamanan daring anak-anak.
Indeks tersebut lagi-lagi menemukan fakta bahwa anak-anak sangat rentan mengalami kekerasan saat berada di dunia maya atau saat mereka online.
Indeks tersebut menunjukkan persentase yang tinggi, hampir 70%, anak-anak dan remaja berusia 8-18 tahun di seluruh dunia pernah mengalami setidaknya satu risiko dunia maya dalam satu tahun terakhir.
Statistik yang mengkhawatirkan ini hampir tidak berubah sejak Indeks dimulai pada tahun 2018, sebuah situasi yang oleh DQ Institute disebut sebagai ‘pandemi siber yang terus-menerus’.
Dr. Yuhyun Park, pendiri DQ Institute, mengatakan, "Saat ini, dengan penyebaran cepat AI generatif, metaverse, dan perangkat serupa XR (Exended Reality), teknologi digital semakin mengubah kehidupan anak-anak."
"Namun, hanya ada sedikit diskusi mengenai potensi dampak berbahaya dari teknologi tersebut," lanjutnya.
Dr. Yuhyun Park pun mengatakan bahwa mengatasi tantangan iklim merupakan hal yang sangat penting dan kita tidak dapat menundanya lagi.
Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap keamanan anak-anak saat mereka berada di dunia maya dan menggunakan semua teknologi yang ada sekarang ini?
Baca Juga: Banyak Kejahatan di Dunia Digital, Ini Cara Menciptakan Ruang Aman untuk Perempuan dan Anak