Sulitnya Tafsiran Kondisi Khusus dari Undang-Undang KIA pada 1000 Hari Pertama Kehidupan

David Togatorop - Minggu, 7 Juli 2024
Pengusaha memerlukan kejelasan indikator kondisi khusus dalam Undang-Undang KIA pada 1000 HPK.
Pengusaha memerlukan kejelasan indikator kondisi khusus dalam Undang-Undang KIA pada 1000 HPK. (Pixabay)

Parapuan.co - Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, baru-baru ini mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.

Undang-undang ini merupakan komitmen pemerintah dalam meningkatkan perlindungan dan pemenuhan hak bagi ibu dan anak di Indonesia.

Setelah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 4 Juni, undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2024.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyambut baik langkah tersebut dan menyatakan bahwa Kemen PPPA akan memimpin dalam penyusunan peraturan turunan bersama dengan kementerian dan lembaga terkait.

Tujuannya adalah untuk mengimplementasikan undang-undang ini secara efektif, meliputi penyusunan 3 Peraturan Pemerintah (PP) dan 1 Peraturan Presiden.

Dalam konteks ini, Kemen PPPA menekankan pentingnya sinergi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, dunia usaha, organisasi, dan masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki, untuk bersama-sama mengasuh dan mendukung generasi emas Indonesia menuju tahun 2045.

Menurut Menteri PPPA, kondisi ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan membutuhkan perhatian yang tidak bisa dipisahkan dari dukungan berbagai pihak.

Undang-undang ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik, psikis, sosial, ekonomi, dan spiritual bagi ibu dan anak.

Implementasi UU ini juga melibatkan dialog dengan berbagai organisasi masyarakat, seperti Serikat Buruh Perempuan, untuk memastikan bahwa peraturan turunannya tidak hanya melindungi hak-hak ibu pekerja tetapi juga mendukung lingkungan kerja, keluarga, dan masyarakat yang kondusif bagi kesejahteraan mereka.

Baca Juga: RUU KIA Disahkan, Bagaimana Nasib Buruh Perempuan? Simak Penjelasannya!

Selain itu, dalam kesempatan terpisah, kepala Biro Hukum dan Humas Kemen PPPA, Margareth Robin Korwa, menegaskan bahwa fase seribu hari pertama kehidupan merupakan periode emas yang tidak dapat diulang dan sangat krusial untuk pembentukan generasi mendatang.

Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak diharapkan dapat menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas.

Margareth juga menyoroti bahwa ibu dan anak termasuk kelompok rentan yang masih menghadapi tantangan kesejahteraan signifikan, seperti tingginya angka kematian ibu, kematian bayi, dan stunting.

Oleh karena itu, implementasi UU ini akan melibatkan berbagai tingkatan pemerintahan serta dukungan aktif dari masyarakat untuk memastikan hak-hak dasar mereka terpenuhi.

Tafsiran Kondisi Khusus

Salah satu poin yang menjadi perdebatan dari UU KIA pada 1000 HPK adalah cuti bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan paling singkat adalah tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya, jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat juga mendukung langkah pemerintah dalam menjamin kesejahteraan ibu dan anak, meskipun mereka meminta kejelasan mengenai beberapa aspek teknis dalam implementasi Undang-Undang tersebut.

APINDO berkomitmen untuk berpartisipasi dalam upaya menurunkan prevalensi stunting dan mendukung kebijakan yang mendukung kesejahteraan keluarga pekerja.

Baca Juga: Kegagalan UU KIA Menghadirkan Peran Laki-Laki Sebagai Ayah dan Suami

Menurut Ning, para pengusaha memerlukan kejelasan mengenai indikator ‘kondisi khusus’ yang tertera pada Undang-Undang tersebut.

Dengan demikian, tidak terjadi multitafsir dalam penerapannya termasuk di dalamnya pengaturan tentang dokter spesialis yang menjadi rujukan bagi ibu hamil atau melahirkan.

"UU KIA ini berpotensi menambah beban baru bagi dunia usaha, khususnya yang masih dalam skala kecil."

"UU ini mewajibkan perusahaan untuk membayarkan gaji pekerja yang cuti hamil secara penuh di empat bulan pertama kemudian 75 persen gaji untuk bulan kelima dan keenam."

"Tak hanya itu, perusahaan pun mungkin perlu merekrut dan melatih pekerja baru untuk menggantikan pekerja yang sedang cuti sehingga bisa menimbulkan biaya tambahan," Ning menjelaskan. (*)

Baca Juga: RUU KIA Disahkan DPR RI, Ini Rincian Cuti Melahirkan untuk Ibu Bekerja

Penulis:
Editor: David Togatorop


REKOMENDASI HARI INI

3 Tips Manfaatkan Uang Pesangon PHK Jadi Modal untuk Wirausaha