Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Berbagai Aspek Data dan Kebocorannya yang Merugikan Perempuan

Dr. Firman Kurniawan S. Senin, 22 Juli 2024
Kebocoran data paling merugikan perempuan.
Kebocoran data paling merugikan perempuan. (AntonioGuillem/iStockphoto)

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis. 

Parapuan.co - Hidup di zaman data sebagai “minyak baru” dan kumpulannya yang senilai hamparan tambang emas, menuntut perspektif pada data yang berbeda. Juga perilakunya yang baru. Hari ini, pemanfaatan perangkat digital yang menghasilkan jejak digital bukan tanda berakhirnya aktivitas. Ini tak sebangun dibanding zaman sebelumnya. Aktivitas kala itu dicatat ruang dan waktunya, diabadikan sebagai dokumentasi. Manakala terdapat keperluan, dokumentasi ditengok kembali. Kedudukannya, jadi bukti sejarah.

Di zaman data adalah hasil - juga tujuan- timbunannya dapat menunjukkan pola tersembunyi. Bahkan yang ditunjukkannya bisa di luar dugaan. Seluruhnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan keputusan yang jitu. Juga terkuaknya peluang baru.

Sebut saja, sebuah platform layanan video streaming: tahu orang yang menonton binge watching (menonton terus-menerus tanpa terputus hingga sebuah serial berakhir) pada akhir pekan, adalah orang berlatar pekerjaan kreatif. Durasi kerja yang dilalui tak kurang dari 75 jam perminggu. Juga, orang-orang ini adalah konsumen kopi kekinian, sekaligus penggemar burger cepat saji.

Hasil analisis di atas, memang dapat diperoleh dari survey yang dilakukan dengan penelitian konvensional. Bahkan prosesnya dapat dipercepat, lewat pengiriman kuesioner digital. Namun dengan data bersumber jejak digital multiplatform, hasilnya lebih merepresentasikan realitas. Bahkan sisi-sisi yang sebelumnya tak nampak, jadi tampil. Fakta penonton binge watching adalah penggemar burger dari gerai multinasional, - bahkan mungkin adalah penggemar kucing berwarna oranye - tak mudah ditunjukkan oleh penelitian konvensional.

Hasil ini memadukan keragaman data satu platform, yang kemudian dipadukan dengan analisis kebiasaan konsumen, dari platform media sosial lain. Seluruh fakta bersumber multiplatform ini, dapat digunakan untuk menyusun program komunikasi. Juga penawaran praktik baru: menonton binge watching, dengan tak lupa memberi makan kucing oranye.

Selain mekanisme perlakuan, nilai data juga ditentukan oleh komposisinya yang beragam. Memotret dunia dari jejak digital, dapat terepresentasi sebangun saat seluruh unsur-unsur pembentuknya termuat. Dunia yang dalam kealamiahannya terdiri dari laki-laki dan perempuan, hidup di kawasan urban maupun rural, memiliki aneka tingkat pendidikan, keragaman status sosial maupun ekonomi. Juga orientasi politik maupun kecenderungan budaya yang bernuansa. Seluruhnya harus terepresentasi oleh data, agar identik penggambarannya. Keberagaman adalah kemutlakan.

Namun keadaan ideal itu tak selalu dapat dipenuhi. Seluruhnya kemudian berimplikasi pada tak terungkapnya keadaan utuh dunia. Ini sejalan dengan pikiran Caitlin Dawson dan Anna Hsu, 2024, dalam ‘Diversifying Data to Beat Bias in AI’. Kedua ilmuwan berlatar belakang ilmu kesehatan ini, membuka tulisannya tentang potensi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang dapat dimanfaatkan untuk merevolusi perawatan kesehatan. Namun ketika pengembangannya tak mempertimbangkan multiaspek, justru dapat memicu munculnya bias.

Misalnya: adanya dokter kulit yang memanfaatkan perangkat pemeriksaan kulit berbasis AI. Namun ketika machine learning diisi data yang mengabaikan keberagaman warna kulit, pemeriksaan hanya menemukan kelainan berdasar data yang ada. AI tak mampu memberikan hasil, ketika datanya tak tersedia. Alih-alih mendeteksi kelainannya, justru memberikan hasil palsu. Ditampilkan seolah tak ada masalah kesehatan.

Baca Juga: Pusat Data Nasional Diretas, Perempuan Paling Rentan Jadi Korban Cybercrime

Untuk mengatasi keterbatasan ini, keragaman kualitas data harus terpenuhi. Agar dapat menghasilkan beragam solusi, pada suatu masalah. Termasuk untuk pembuatan kumpulan data sintetis yang beragam. Data sintetis yang beragam, dapat digunakan untuk memperluas hasil deteksi kelainan kesehatan kulit, yang jenis datanya tak diinput pada perangkat.

Hal yang lebih mudah dalam mengilustrasikan uraian di atas, dapat dengan merunut proses belajar meniru manusia, pada AI. Pembelajaran manusia di 1.000 hari awal hidupnya, dilakukan dengan menyerap data, yang bersumber utama kedua orang tua. Juga dilengkapi penyerapan data dari lingkungan sekitar rumah. Ditambah pula, data bersumber keluarga besar yang tinggal berjauhan. Misalnya saat reuni keluarga. Seluruh sumber data itu, berbentuk data terstruktur, semi terstruktur maupun data tak terstruktur.

Data terstruktur diperoleh dari kedua orang tuanya saat mengajarkan nama-nama benda, pengekspresian perasaan, maupun penyampaian kehendak untuk memenuhi kebutuhan. Takut, sedih, was-was, gembira, lapar, juga sakit. Data terstruktur juga bersumber dari pelajaran awal yang disampaikan guru, di pendidikan anak usia dini. Pada jenjang ini, anak mulai belajar secara formal.

Sedangkan data semi terstruktur, bisa bersumber dari material yang turut tersaji saat berlangsungnya pengajaran dengan data terstruktur. Orang tua yang menerangkan bulan, bintang dan aneka planet, menyiratkan seluruh benda langit terlihat akibat kontrasnya dengan kegelapan malam. Sedangkan matahari, awan dan mendung, tampil nyata di siang hari. Data semi terstruktur tentang malam dan siang ini, turut tersaji bersama data terstruktur soal pengisi langit. Tak jadi fokus dalam pengajaran, namun hadir tak terpisahkan.

Dan yang terakhir, data tak terstruktur. Ini berupa masuknya data random melalui panca indera. Kehadirannya turut membentuk pengetahuan, walaupun tanpa perencanaan yang sistematis. Pada mesin-mesin pengolah data, seluruh kategori data di atas menciptakan pengetahuan multiperspektif. Komposisi yang beragam, jadi pangkal representasi realitas dunia. Hadir, hampir tanpa bias.

Pada manusia dengan kecerdasan alamiah, data sepihak - dari ayah atau ibu saja - menyebabkan biasnya perspektif pada dunia. Bersudut pandang ayah saja, atau ibu saja. Hal serupa terjadi pada mesin pengolah data. Juga yang berkonsep AI. Hari ini, belum ada AI yang memenuhi tuntutan keragaman komposisi data. Seluruhnya mengandung bias yang serius.

Perempuan Dalam Ancaman Kebocoran Data

Di satu sisi, terdapat upaya keras meragamkan data, di sisi lain ada tantangan yang pelik. Salah satu hal yang mengemuka, ancaman kebocoran data. Manakala kebocoran terjadi, - termasuk yang baru terjadi menimpa Pangkalan Data Nasional Sementara (PDNS) Indonesia - membawa implikasi tak seimbang bagi laki-laki dibanding perempuan. Perempuan lebih dirugikan dibanding laki-laki.

Baca Juga: TikTok Lakukan Ini Ketika Kekerasan Berbasis Gender Online Meningkat 4 Kali Lipat

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Parapuan (@cerita_parapuan)

Pada perempuan, bocornya data di tingkatan yang ringan saja - terungkapnya nama dan alamat lengkap di data kependudukan - dapat memancing tindakan kejahatan. Kejahatan berbentuk tindakan berbasis tempat tinggal: penguntitan, perampasan, perampokan, perkosaan, hingga diakhiri dengan pembunuhan. Jenis kejahatan ini, hampir tak terjadi pada laki-laki.

Sedangkan pada tingkat yang lebih serius, seperti phising, social engineering, juga doxxing, data multimedia perempuan dapat digunakan untuk produksi deepfake. Deepfake adalah simulasi yang dihasilkan AI terhadap suara, gerak-gerik, intonasi, mimik muka, hingga tampilan seseorang. Dengan produksi deepfake, perempuan ditampilkan melakukan suatu tindakan yang sejatinya tak dilakukannya. Beberapa pesohor nasional maupun internasional kerap ditampilkan seakan menghadiri suatu perayaan, memberikan pernyataan dukungan, bahkan melakukan adegan porno. Seluruhnya ketika ditelusur dengan teliti, merupakan hasil rekayasa deepfake.

Dalam spektrumnya yang masih tergolong legal, Katy Perry, sang pelantun Firework, dihadirkan melalui sosok AI, di acara Met Gala 2024. Sosok alamiahnya, tentu ada di tempat lain. Modus lainnya menimpa dr. Yessica Tania. Dokter yang sering disapa sebagai dr. Zie, pernah ditampilkan tanpa sepengetahuannya dalam sosok AI, yang menawarkan produk penurun berat badan. Tentu ini mengarah pada tindakan yang ilegal, tanpa izin membuat pernyataan palsu. Dan yang lebih runyam, AI yang ditampilkan menyerupai pesohor Nagita Slavina. Sosok ini hadir, sebagai pemeran adegan bertema pornografi. Tentu produksi yang memanfaatkan data pribadi pesohor ini, bersifat ilegal dan terkategori sebagai Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO).    

Seluruh bentuk kebocoran yang berujung pelanggaran data itu, berimplikasi lebih merugikan perempuan. Selain deepfake, pelecehan online juga mengintai perempuan. Seluruhnya relevan dengan tulisan Divya Tiwari, 2023: ‘Data Breach Affects Women More, Has Chilling Effect on Their Online Participation’. Disebutkannya, pelanggaran data, termasuk akibat kebocorannya, berdampak pada banyak orang. Namun perempuan dan kelompok marginal lebih dirugikan secara tak proporsional.

Kerugian berbentuk kerentanan pada perempuan dalam hal ketidakstabilan keuangan, tekanan psikologis, hingga masalah privasi lainnya. Pelanggaran akibat kebocoran data kian memperburuk ketaksetaraan sosial berdasar gender. Dan seluruhnya berujung pada ditariknya diri perempuan dari partisipasi digital. Tentu ini akan makin menjauhkan dari tercapainya tujuan keragaman komposisi data.

Atas dasar semua itu, sudah saatnya perempuan menuntut perlindungan data yang lebih serius. Atau taruhannya, dunia yang tak terepresentasi seimbang dalam bingkai teknologi informasi. Semuanya jadi rugi bukan?  

(*)

Baca Juga: Sextortion, Kejahatan Berperantara Media Digital yang Mengancam Perempuan