Seperti Dua Mata Pisau, Ini Tantangan Hybrid Working bagi Perempuan Karier

Citra Narada Putri - Rabu, 14 Agustus 2024
Tantangan perempuan melakukan hybrid working.
Tantangan perempuan melakukan hybrid working. (Korrawin/Getty Images)

Parapuan.co - Konsep kerja yang fleksibel seperti hybrid working memang dinilai dapat membantu memajukan kesetaraan gender di tempat kerja.

Bahkan berdasarkan laporan International Workplace Group tahun 2024 berjudul Advancing Equality: Women in the Hybrid Workplace, konsep hybrid working dapat menyeimbangkan persaingan untuk kemajuan karier para perempuan.

Lebih dari itu, metode kerja ini juga dinilai bisa memfasilitasi keseimbangan yang lebih baik antara tanggung jawab pekerjaan dan komitmen keluarga berkat working hour yang lebih fleksibel.

Kendati demikian, sayangnya hybrid working seperti dua mata pisau.

Di satu sisi bisa membantu perempuan bekerja fleksibel, tapi di sisi lain juga bisa menghambat perempuan meniti tangga karier. 

Menurut survei terhadap 1.300 manajer dari Chartered Management Institute (CMI), diketahui bahwa ternyata pergeseran sistem kerja hybrid bisa menghambat kemajuan karier perempuan, seperti melansir The Guardian.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan mengabaikan orang-orang yang menghabiskan lebih banyak waktu work from home atau bekerja dari rumah.

Terlebih lagi kembalinya sistem kerja dari kantor pasca-COVID-19 semakin memperparah kesenjangan upah dan promosi berdasarkan gender.

Dimana pemberi kerja gagal memantau dampaknya atau merancang pekerjaan dengan tepat untuk pekerjaan hybrid dan jarak jauh.

Baca Juga: Survei Ini Buktikan Hybrid Working Lebih dari Sekadar Fleksibilitas bagi Perempuan Karier

Sayangnya hal ini berdampak pada perempuan, yang lebih cenderung memilih jam kerja fleksibel atau bekerja dari rumah karena alasan mengasuh anak.

Manajer laki-laki secara signifikan lebih mungkin untuk bekerja dari kantor sebagian besar atau seluruhnya (48% vs 38%).

Sekitar dua dari lima (40%) manajer yang disurvei mengatakan bahwa mereka telah mengamati opini atau perilaku yang menunjukkan adanya kesenjangan antara mereka yang bekerja secara fleksibel dan mereka yang tidak.

Sementara manajer perempuan lebih cenderung percaya bahwa kerja hybrid dapat berdampak negatif terhadap kemajuan karier dibandingkan rekan laki-laki mereka.

“Perempuan bisa berada dalam situasi rugi jika pemberi kerja tidak berhati-hati. Mereka perlu menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan rumah tangga melalui kerja yang fleksibel, namun kehilangan banyak peluang yang muncul, dengan interaksi secara langsung di kantor," ujar Anthony Painter, Direktur Kebijakan CMI.

Menurutnya lagi, hal ini tidak dapat ditoleransi dan bisa merugikan perempuan maupun pengusaha.

Di sisi lain, laporan Deloitte Women at Work menunjukkan bahwa 60 persen pekerja hybrid perempuan merasa mereka tidak dilibatkan dalam rapat. '

Hampir setengahnya juga khawatir bahwa mereka tidak mendapatkan paparan tentang pemimpin yang diperlukan untuk kemajuan karier.

Baca Juga: Perempuan Karier Stres karena Pekerjaan, Bagaimana Cara Mengatasinya?

Pekerja perempuan yang menerapkan hybrid working juga dilaporkan lebih banyak merasa dikucilkan dari interaksi dan percakapan informal namun penting, diberi kesempatan untuk berbicara dalam rapat, dan rekan kerja mendapat pujian atas ide-ide mereka.

"Secara anekdot, tampaknya di sektor-sektor yang didominasi laki-laki dengan prestise tinggi, seperti jasa keuangan, terdapat tekanan nyata untuk masuk kantor sesering mungkin. Menurut saya hal itu sengaja dieksklusikan,” ujar Prof Rosie Campbell, Direktur King’s College London’s Global Institute for Women’s Leadership.

Prof Rosie pun menuturkan solusinya agar perusahaan perlu merancang skema hybrid working secara hati-hati dan bukan dibiarkan berkembang sendiri, karena akan menciptakan kesenjangan yang semakin besar. 

(*)

Sumber: The Guardian
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri


REKOMENDASI HARI INI

Seperti Dua Mata Pisau, Ini Tantangan Hybrid Working bagi Perempuan Karier