Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Hipervisibilitas, Musuh Perempuan Melawan Kekerasan di Media Sosial

Dr. Firman Kurniawan S. Senin, 19 Agustus 2024
Perempuan melawan kekerasan di media sosial.
Perempuan melawan kekerasan di media sosial. (Prapat Aowsakorn/Getty Images)

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Seluruhnya itu, dapat dimanifestasikan lewat produksi dan distribusi konten. Lebih tegasnya lagi, ketika dilekati tanda pagar. Ini yang terjadi pada #MeToo, #KamuBerharga, #YourStoryIsHeard maupun #AintNoCinderella.

Dari gerakan lewat media sosial, perempuan mengekspresikan kehendaknya di hadapan publik. Juga para pelanggar hak-hak perempuan. Sedangkan perempuan yang tak cakap membuat konten, tetap dapat mengonsumsi gerakan perempuan lain. Darinya muncul rasa tak sendirian. Perempuan yang punya otonomi diri, mendefinisikan kehendaknya. Alih-alih jadi pihak yang selalu didefiniskan, namun kemudian disalahpahami.

Pendapat Miller dan Demirbilek itu, diperkuat Melissa Chemam, 2024. Peneliti ini menyebut: kekerasan yang dialami perempuan adalah rangkaian yang berawal dari ruang digital dan berlanjut di dunia nyata. Kekerasan di media sosial jadi pintu yang terbuka lebar bagi kekerasan di dunia nyata. Bentuknya pelecehan seksual online, stalking atau penguntitan onlline, doxing, diikuti perwujudannya sebagai kekerasan fisik pada perempuan.

Seluruh temuan Chemam, tertuang dalam artikelnya “How Technology and Social Media are Weaponised Against Women Even Offline”. Temuan penelitian di atas, disusun dari hasil wawancara dengan orang-orang Indonesia, Yordania, Lebanon, Maroko, Rwanda, Afrika Selatan, maupun Uganda.

Hal yang dialami AD di atas, dalam bentuk revenge porn, juga jadi pengalaman perempuan Maroko. Banyak kasus mantan pasangan yang menyalahgunakan gambar atau video intim. Tujuannya bermacam-macam: mulai membalas dendam, merebut hak asuh anak di bawah umur yang harusnya ada pada perempuan, tawar menawar tunjangan pasca perceraian, hingga menekan agar perempuan menyerahkan aset tertentu kepada mantan pasangannya. Mantan pasangan ini dapat berubah jadi monster, yang berulah tak terkirakan saat hubungan berakhir.

Namun, dari seluruh peran baiknya memfasilitasi perempuan mewujudkan kehendaknya, ada wajah kelam perangkat ini. Pada beberapa kasus, saat tersiar adanya kekerasan pada perempuan, publik justru tak berpihak pada korban. Alih-alih membangun pemahaman, yang memancing diskusi untuk mencegah kekerasan pada perempuan, media sosial justru meletakkan perempuan sebagai pihak yang tak perlu dilindungi. Ini makin jelas tendensinya, pada perempuan yang dianggap tak menarik oleh publik.

Shamariah Vanderhorst, 2023, dalam tulisan kolomnya, “Column: Social Media Inappropriately Handles Violence Against Women”, menceritakan penyerangan yang dialami Kysre Gondrezick oleh pacarnya Kevin Porter Jr., seorang pemain NBA. Saat Porter mengajukan pembelaan tak bersalah atas penyerangan dan pencekikan, muncul ratusan respon publik. Ini terbaca lewat media sosial X, dulunya Twitter, berupa pembelaan terhadap Gondrezick. Namun sayangnya, dengan cara tak pantas. Seperti ungkapan: “How you assault this smh,”. SMH kepanjangan dari shaking my head. Sedangkan komentar lainnya "Facts we only hit ugly b****es, faktanya kita hanya memukul perempuan yang jelek.

Representasi komentar di atas, dengan didahului “this SMH”, memosisikan Gondrezick sebagai obyek. Perempuan adalah benda yang bisa diperlakukan sekehendak pemiliknya. Sedangkan pernyataan berikutnya, menormalisasi memukul perempuan, terutama jika dianggap tak menarik. Perempuan tak layak dilindungi jika dianggap tidak cantik.

Baca Juga: Perulangan Kasus KDRT Menjadi Sinyal bagi Perempuan

Dengan mengutip Wesley Stevens, Asisten Guru Besar di USC's School of Journalism and Mass Communications, Vanderhorst mengemukakan tentang adanya gejala hipervisibilitas. Gejala yang memuat keadaan saat perempuan, warga kulit hitam, juga kelompok terpinggirkan lainnya tampil di ruang publik. Penampilan yang menyebabkan warga minoritas dapat terlihat atau diakses, termasuk lewat media sosial.

Kelompok ini akan jadi sasaran kritik yang jauh lebih keras, pengawasan yang jauh lebih ketat, reaksi maupun penolakan yang lebih keras, terhadap aktivitas yang dilakukan. Ini termasuk yang dikatakan maupun dibagikan di hadapan publik. Juga di media sosial. Akrabkah Kawan Puan dengan gejala ini?

Seluruhnya mungkin berarti: terhadap perempuan, - terlebih dengan warna kulit hitam, juga yang dianggap tak menarik - ketika menggunakan media sosial untuk menyampaikan kekerasan, pelecehan, ketidakadilan yang dialaminya, perlu memperkirakan respon yang bakal diperoleh. Alih-alih memperoleh dukungan dan perlindungan, justru komentar menyakitkan yang dituai. Perempuan rawan jadi korban berulang-ulang.

Nampak di dunia yang terlalu berpihak pada laki-laki ini, ada standar yang mendiskriminasi kelompok warga maupun penampilan tertentu. Diskriminasi yang juga membedakan kelayakan perempuan untuk didengar dan dilindungi. Di luar standar itu, perempuan tak lebih hanya benda yang dapat diperlakukan sekehendaknya. Juga tak perlu dilindungi. Media sosial melanggengkan perilaku buruk pemakainya. Alih-alih memperoleh dukungan dan perlindungan, sakit yang tak tertahankan justru harus ditanggung perempuan.

Seluruhnya berpeluang makin buruk di Indonesia, lewat adanya undang undang yang justru bisa meletakkan korban jadi korban kedua kalinya. Korban kekerasan justru diperkarakan sebagai pelaku tindakan pencemaran nama baik. Ini dilakukan pelaku kekerasan, yang harusnya dilawan. UU ITE memungkinkan itu. Nyata, jalan perempuan meraih kesetaraan haknya masih panjang. Juga perlindungan terhadap dirinya. Bak air sejuk di musim kemarau, alirannya tetap harus diperjuangkan. Atau mati kehausan.

(*)

Baca Juga: Bertolak Belakang dengan Klaim Kesetaraan Gender, Prancis Larang Atletnya Pakai Hijab di Olimpiade 2024