Diangkat dalam Film, Ini Tradisi Pernikahan Arwah di Budaya Tionghoa Kuno

Tim Parapuan - Sabtu, 12 Oktober 2024
Tradisi pernikahan arwah atau pernikahan hantu yang jadi bagian tradisi budaya tionghoa.
Tradisi pernikahan arwah atau pernikahan hantu yang jadi bagian tradisi budaya tionghoa. Jason Wordie

Parapuan.co - Film Pernikahan Arwah (The Butterfly House) mengangkat kisah menarik yang berakar pada tradisi unik pernikahan arwah yang berasal dari budaya Tionghoa.

Dalam film yang direncanakan akan tayang tahun 2025 ini, Salim (Morgan Oey) dan Tasya (Zulfa Maharani) menjadi pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahannya.

Mereka terjebak dalam misteri arwah leluhur Salim saat melakukan sesi foto prewedding di rumah keluarganya.

Di tengah persiapan mereka, keduanya harus menghadapi tantangan dari roh leluhur yang belum menemukan ketenangan akibat ketidakselesaian tradisi pernikahan arwah.

Melansir dari nationalgeographic.grid.id tradisi pernikahan arwah atau pernikahan hantu di Tiongkok kuno dilakukan untuk memberikan pasangan bagi mereka yang meninggal muda dan belum menikah.

Praktik ini diyakini bermula pada Dinasti Qin (221-206 SM) dan lebih komprehensif dicatat pada Dinasti Han (206 SM-220 M).

Tujuan dari pernikahan ini adalah memastikan mendiang memiliki perjalanan ke akhirat yang baik, sehingga mereka dapat melindungi nama baik keluarga yang masih hidup.

Pernikahan arwah.
Pernikahan arwah. (Dok. grid.id)

Baca Juga: Mengenal Supogomi, Tradisi Jepang yang Gabungkan Olahraga dengan Kepedulian Lingkungan

 

Jika seseorang tidak mendapatkan pernikahan hantu yang layak, diyakini jiwa mereka akan menghantui keluarga, menciptakan ketidaknyamanan dan masalah bagi generasi yang masih hidup.

Dalam praktiknya, bentuk pernikahan arwah yang paling umum adalah menikahkan laki-laki dan perempuan yang telah meninggal.

Meskipun mereka mungkin belum pernah bertunangan dalam hidup, ritual ini dianggap penting untuk memastikan kebahagiaan almarhum di alam lain.

Namun, pernikahan arwah tidak hanya terbatas pada pasangan yang sama-sama sudah meninggal.

Terdapat juga jenis pernikahan di mana salah satu pasangan masih hidup.

Dalam situasi ini, jika seorang laki-laki meninggal muda, tunangannya dapat memutuskan untuk melanjutkan pernikahan, dan orang lain akan mewakili almarhum selama upacara.

Ini menjadi solusi bagi perempuan yang tidak ingin dianggap tidak pernah menikah, yang merupakan aib besar dalam budaya Tionghoa kuno.

Sebaliknya, jika seorang perempuan meninggal muda dan belum menikah, dia tidak mendapatkan pemakaman yang layak atau tablet arwah, karena tanggung jawab tersebut berada di tangan keluarga suaminya.

Baca Juga: Sinopsis Film Talk To Me, Kisah Horor Ritual Pemanggilan Arwah

Praktik ini mencerminkan dinamika gender yang kompleks dalam masyarakat Tionghoa, di mana status perkawinan dan tradisi keluarga sangat mempengaruhi cara orang diperlakukan setelah kematian.

Dengan demikian, pernikahan arwah tidak hanya menjadi sarana untuk menghormati arwah, tetapi juga merupakan bentuk pengabdian dan tanggung jawab terhadap norma-norma sosial yang ada.

Tradisi pernikahan arwah bahkan masih dilestarikan hingga saat ini oleh sebagian masyarakat, meskipun dalam bentuk yang lebih terbatas.

Beberapa kasus telah dilaporkan di mana makam perempuan digali dan dijual untuk dijadikan pengantin hantu, menciptakan dilema moral dan etis dalam praktik ini.

Dengan cara ini, film Pernikahan Arwah (The Butterfly House) tidak hanya menyuguhkan kisah horor yang mencekam, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan nilai-nilai budaya, tanggung jawab keluarga, dan bagaimana warisan tersebut terus berlanjut dalam kehidupan modern.

(*)

Ken Devina

Sumber: nationalgeographic.grid.id
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri


REKOMENDASI HARI INI

Jadi Tren Kencan 2024, Ini Tips Sukses Dapat Pasangan di Dating Apps