Pernyataan ini menyoroti ketidakserasian antara larangan tersebut dan prinsip inklusi yang sering kali diusung Prancis.
Meskipun Prancis mengklaim bahwa prinsip sekularisme dan kenetralan negara menjadi dasar aturan ini, para ahli menegaskan bahwa hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk membatasi kebebasan berekspresi atau beragama.
Menurut mereka, pembatasan semacam ini harus proporsional dan didasarkan pada alasan yang jelas seperti keselamatan atau ketertiban umum, bukan asumsi atau prasangka yang tidak berdasar.
Namun, keputusan Conseil d'État dan rancangan undang-undang yang diajukan ke Senat pada Maret 2024 malah memperlihatkan bias terhadap hijab di ruang publik sebagai ancaman terhadap ketertiban.
Padahal, hijab seharusnya diakui sebagai ekspresi identitas dan keyakinan yang sah dari sebuah agama.
Kawan Puan, dalam situasi yang penuh stigma terhadap perempuan berhijab, para ahli menyerukan agar Prancis mengambil langkah untuk melindungi hak-hak mereka dan mempromosikan kesetaraan serta penghormatan terhadap keragaman budaya.
Mereka berharap bahwa langkah ini akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi semua warga negara, tanpa memandang pilihan mereka dalam berekspresi maupun keyakinan yang dianut.
Para ahli telah menyampaikan kekhawatiran ini kepada pemerintah Prancis, yang juga telah diangkat dalam laporan di Majelis Umum PBB oleh Pelapor Khusus di bidang hak budaya.
Baca Juga: Viral Anggota Paskib Putri Lepas Hijab, Ini Aturan BPIP soal Pakaian Paskibraka 2024
(*)
Ken Devina