Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Kedua, informasi merupakan urutan simbol yang teratur. Simbol yang mewakili konsep tertentu dan dihadirkan dalam aturan tertentu. Bukan lagi sistem penandaan. Kedudukannya menjadi model operasional. Sistem simbol sebagai bahasa, menyebabkan informasi dipahami dari sistem bahasa yang melekat pada kata.
Namun dalam realitasnya, konsumen informasi memaknai informasi yang dihadapinya dengan caranya masing-masing. Tanpa adanya interaksi, informasi jadi sekedar urutan huruf dan bunyi. Ini dapat diilustrasikan, ketika semua memproduksi informasi, semua berbicara pada semua. Hasil akhirnya, tak ada yang benar-benar memperhatikan. Karenanya tak ada makna terbentuk, yang disepakati. Jagat informasi dipenuhi oleh dirinya sendiri. Dengan makna yang mengambang.
Dan ketiga, informasi pada akhirnya menghancurkan makna yang harus dibangunnya. Baudrillard menyebutnya sebagai: informasi yang melahap dirinya sendiri. Pada dasarnya, media merupakan perangkat agen ekonomi (baca: kapitalis) maupun politik. Agen ini memproduksi informasi untuk menyampaikan makna, namun menghendaki satu arah. Agen-agen bertindak aktif, bertujuan menjaga konsumen informasinya tetap pasif. Tak dibiarkannya melakukan pilihan bebas.
Aktivitas komunikasi diukur dari jumlah paparan pesan yang disampaikan, bukan makna yang terbentuk. Makna hancur. Di dunia yang diwarnai pemanfaatan massif platform digital hari ini, interaksi tak bertujuan membangun pemahaman bersama pengirim dan penerima informasi. Keberhasilan informasi diukur dari lalu-lintas respon. Ukuran yang tak serta merta menunjukkan terbentuknya makna mutual. Tanda suka, komentar, posting ulang, tambahan pengikut, tak berarti makna telah terbentuk. Ini lantaran, tak seluruh proses lalu lintas respon dilakukan dalam keadaan sadar.
Implikasi dari implosi: produksi informasi, jadi paradoks. Kehadirannya tak berhasil, mengambangkan hingga menghancurkan makna. Informasi yang harusnya jadi material dan substansi untuk menghilangkan ketidakpastian, tak memenuhi fungsinya. Berinteraksi memanfaatkan informasi, alih-alih saling pengertian yang terbentuk, justru salah paham yang terjadi. Keadaan tak menentu yang hendak ditepis informasi, justru mengantarkan pada keadaan tak tentu lainnya. Ledakan informasi, menjadikan dirinya sia-sia. Mengkonsumsi informasi hari ini, bisa mengantar ke tersesatan.
Namun tak bisa dihindarkan, di tengah implosi itulah pengetahuan terbentuk. Modusnya terutama memanfaatkan platform digital. Lantaran lebih mudah, lebih murah dan lebih praktis. Namun tak selalu menghasilkan pengetahuan berkualitas. Bahkan pengetahuan sesat.
Korban terbesarnya selain informasi itu sendiri, adalah Gen Z. Manusia yang dikelompokkan sebagai generasi yang lahir dalam periode tahun 1995-2010 ini, jadi pengguna utama platform digital. Artinya, dalam proses berpengetahuannya terancam oleh paparan pengetahuan tak berkualitas. Gen Z yang menelusuri menggunakan mesin pencari Google, media sosial X, Instagram, Snapchat, Tiktok dan berinteraksi dengan perangkat perpesanan WhatsApp, rawan berbelok pada informasi tak relevan. Informasi yang meluber, lantaran produksinya yang meledak.
David Romawi, 2024, dalam “How Gen Z is Using Social Media”, menggambarkan keterikatan Gen Z, dengan perangkat digitalnya. Romawi menyebutnya sebagai: ketergantungan pada perangkat seluler, yang tak dapat dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Perangkat itu bukan sekedar sebagai perangkat berkomunikasi, namun juga memuat identitas dirinya.
Baca Juga: Peluang Bisnis Berbasis Eco-friendly yang Cocok untuk Gen Z, Apa Saja?
Perangkat ini digunakannya menuju dunia digital. Dunia yang menjadi tempatnya menghabiskan sebagian besar waktunya. Perangkat seluler itu untuk mengonsumsi unggahan media digital, berikut interaksinya yang relevan. Tentu saja, akhirnya jadi sumber pembentukan pengetahuannya.
Adapun tipe pembelajaran yang disenangi Gen Z, diungkap Emily Poague, 2018, dalam “Gen Z Is Shaping a New Era of Learning: Here’s What you Should Know”. Disebutkannya, hampir seluruh Gen Z meyakini: pekerjaan yang bakal dijalankan 20 tahun mendatang, sangat berbeda dengan pekerjaaan hari ini.
Kesadaran ini membawa Gen Z menyiapkan diri dengan belajar. Mempelajari hal yang berbeda, juga dengan cara yang berbeda. Adapun cara pembelajaran yang disukai Gen Z, berupa belajar secara mandiri. Sehingga tentu saja, dalam memenuhi kemandirian belajar itu, platform digital merupakan sarana yang harus dimilikinya.
Sebagai digital natives ~ini ditandai sebagai pengguna internet sejak kelahirannya~ Gen Z bakal frustrasi, jika dalam proses berpengetahuannya berhadapan dengan teknologi yang tak menghasilkan respon cepat. Juga kepuasan yang instan. Akibat banjirnya informasi, Gen Z merasa waktunya terbatas. Karenanya, alokasi waktu untuk mempelajari hal baru, seraya menuntut tersedianya teknologi yang prima. Para pemimpin perusahaan, juga pengembang sumberdaya manusia perlu mengadaptasi tuntutan itu.
Namun dua karakteristik identitas Gen Z ini, jadi dilema. Kemandirian dalam berpengetahuan dan interaksi intensifnya dengan platform digital, dapat mengantarnya pada pengetahuan yang tak terbatas. Namun di saat yang sama dapat mengantarnya pada pengetahan sesat. Pengetahuan yang mengantar pada praktik buruk kehidupan. Bisa berupa pengetahuan penyalahgunaan zat adiktif, ajakan bunuh diri, tawaran judi online, juga diikutinya ideologi yang tak sepenuhnya dipahami.
Seluruhnya terserak sebagai unggahan platform digital. Karenanya jika dalam kasmarannya berpengetahuan justru ketersesatan yang mengancam, sudah saatnya keluarga dan institusi tradisional ~sekolah, pramuka, kelompok olah raga dan seni~ mengambil peran.
Interaksi digital dan kemandiran belajar tetap jadi identitas penting Gen Z. Namun keluarga dan institusi tradisional jadi alternatif penyedia dialog berpengetahuan. Memang tak mudah dilakukan, tapi harus ditempuh. Dibanding jika harus, menghadapi generasi yang tersesat.
(*)