Parapuan.co - Media sosial saat ini sedang dihebohkan oleh grup obrolan dari platform Telegram.
Grup Telegram yang berisi 70.000 laki-laki dari berbagai negara ini berbagi saran tentang bagaimana cara melakukan kekerasan seksual pada perempuan.
Bukan hanya itu, grup Telegram tersebut juga membahas bagaimana melakukan rudapaksa pada perempuan.
Menurut laman International Business Times, para anggota bertukar saran tentang cara melumpuhkan, memperkosa, dan menyakiti perempuan.
Sontak penemuan ini memicu kemarahan luas dan seruan untuk memperketat terhadap platform daring.
Lebih lanjut, ada sederet fakta mengejutkan dari grup Telegram yang berisikan 70.000 laki-laki dari berbagai belahan dunia ini.
Mereka menargetkan orang-orang terdekat seperti keluarga, istri, pasangan, saudara perempuan, sampai ibu menjadi korban kekerasan seksual.
Anggota grup Telegram tersebut bahkan berbagi foto dan video saat menjalankan aksi kekerasan seksualnya.
Seorang anggota grup dilaporkan telah membius istrinya dan menawarkan pada laki-laki lain.
Baca Juga: Jangan Diam! Ini Bantuan untuk Perempuan Disabilitas yang Alami Kekerasan Seksual
Rekam Jejak Telegram
Jika ditarik ke belakang, Telegram merupakan platform teknologi buatan Rusia.
Ada sekitar 950 juta pengguna Telegram, apalagi aplikasi perpesan ini memiliki enskripsi yang kuat dan menolak untuk membagikan data pengguna dengan lembaga pemerintah.
Sayangnya, Telegram seakan juga menjadi platform kegiatan terlarang.
Termasuk perdagangan narkoba, eksploitasi seksual anak, hingga memungkinkan kekerasan seksual.
Seruan Global untuk Bertindak
Pengungkapan mengenai grup Telegram ini mencuri perhatian internasional.
Terdapat Undang-Undang Keamanan Daring Inggris tahun 2023 yang mewajibkan platform media sosial untuk melindungi pengguna dari konten ilegal.
Baca Juga: Termasuk Pelecehan Seksual Verbal, Ini Ancaman Pidana bagi Pelaku Catcalling
Langkah penetapan Undang-Undang ini dirasa sudah cukup bijak. Sayangnya, tanpa penegakan global yang konsisten, inisiatif tersebut berisiko gagal.
Penggunaan aplikasi pesan terenkripsi untuk memfasilitasi kejahatan seperti 70.000 anggota di grup Telegram dengan tujuan berbagi aksi kekerasan seksual menunjukkan tantangan yang lebih luas dalam menyeimbangkan privasi dengan keselamatan publik.
Ketika pemerintah dan organisasi bergulat dengan kompleksitas ini, kebutuhan akan kebijakan yang dapat ditegakkan.
Untuk Kawan Puan ketahui bahwa salah satu tantangan terbesar dalam memerangi kekerasan seksual adalah stigma sosial yang masih melekat pada korban.
Banyak perempuan enggan melapor karena takut disalahkan atau dipermalukan oleh lingkungan sekitarnya.
Stigma ini memperparah penderitaan korban dan memberikan ruang bagi pelaku untuk bebas tanpa pertanggungjawaban hukum.
Baca Juga: Asmara Bisa Membuat Perempuan Jadi Korban Kekerasan dan Penganiayaan
(*)