"Perlu ada materi khusus yang disematkan dalam rumah pendidikan, yang juga bisa diakses oleh publik untuk menanamkan kesadaran di masyarakat bahwa siapapun anak itu adalah anak kita semua," kata Rusprita.
Mendikdasmen menegaskan bahwa rencana sekolah khusus bagi korban kekerasan bertujuan untuk menjawab tantangan sosial di mana masih ada masyarakat yang tidak menerima korban kembali ke sekolah, sekaligus memenuhi hak pendidikan korban.
Ia menjelaskan bahwa konsep ini serupa dengan sekolah rumah atau pusat kegiatan belajar masyarakat yang lebih fleksibel, memungkinkan korban belajar dengan pendampingan relawan pengajar.
"Disebut sekolah karena ada standar kurikulum serta dapat memfasilitasi kejar paket. Kita perlu perkuat paradigma schooling menjadi learning, bahwa belajar tidak perlu dilakukan di sekolah namun tetap bisa mencapai kualifikasi keilmuan," tambah Mendikdasmen Abdul Mu’ti.
Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, menekankan pentingnya membangun penerimaan masyarakat terhadap korban kekerasan, serupa dengan pendekatan sekolah inklusi yang mengenalkan siswa non-disabilitas pada konsep disabilitas.
Mendikdasmen juga menyoroti bahwa kerja sama dalam bentuk kemitraan yang tidak selalu bersifat struktural menjadi strategi yang semakin relevan.
Sementara itu, Komisioner sekaligus Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengapresiasi penerapan Permendikbudristek No. 58 Tahun 2024.
"Kebijakan ini mengatur tidak dicantumkannya nama orang tua di blanko ijazah anak karena cukup dituliskan di akta kelahiran. Ketika dicantumkan, yang sering ditulis hanya nama ayah, sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap ibu," tegas Alim.
Baca Juga: Efisiensi Anggaran Tidak Mengurangi Daya Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
(*)