Menguak Perilaku Keji Oknum Polisi NTT atas Kasus Kekerasan Seksual Anak di Bawah Umur

Saras Bening Sumunar - Jumat, 14 Maret 2025
Kekerasan anak di bawah umur yang melibatkan oknum polisi.
Kekerasan anak di bawah umur yang melibatkan oknum polisi. IstockPhoto

Parapuan.co - Kasus kekerasan seksual pada anak di bawah umur seakan menjadi masalah nasional yang belum juga terputus. Ditambah lagi kurangnya andil pemerintah dan para penegak hukum membuat kasus kekerasan pada anak seakan dianggap menjadi angin lalu.

Baru-baru ini pelecehan seksual pada anak di bawah umur dilakukan oleh oknum kepolisian Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur, Ajun Komisaris Besar (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman. Yang lebih tak masuk akal, salah seorang korbannya masih berusia tiga tahun.

Menurut penulis, perilaku biadab yang dilakukan oknum kepolisian ini semakin membuat masyarakat kehilangan respect akan lembaga penegak hukum tersebut. Lantas, bagaimana cara AKBP Fajar melancarkan aksi busuknya ini?

Fajar bukan hanya melakukan kekerasan seksual pada anak di bawah umur melainkan juga mengunggah perbuatan menjikannya ke situs porno luar negeri. Itu artinya, Fajar melakukan kejahatan berlapis yakni kekerasan anak di bawah umur dan perdagangan orang.

Perilaku Fajar terkuak setelah otoritas Australia menyelidiki video pelecehan yang beredar di situs porno negara tersebut pada pertengahan 2024 lalu. Berdasarkan hasil penyelidikan, terkuak lokasi tempat konten pornografi anak yang ditemukan di situs porno Australia diunggah yakni di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Tak berselang lama, pihak Australia kemudian melaporkannya ke Mabes Polri yang kemudian melakukan penyelidikan dan mengarah pada keterlibatan Fajar Widyadharma Lukman. Pada 20 Februari 2025, tim Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri bergerak ke Bajawa, Ibu Kota Kabupaten Ngada, untuk menangkap Fajar.

Sebagai seorang penegak hukum dengan jabatan tersohor, perbuatan Fajar begitu keji. Apalagi, ia melakukan kekerasan dan pelecehan seksual dengan korban yang masih anak-anak dengan usia 14 tahun, 12 tahun, juga 3 tahun

Fajar meminta disediakan anak di bawah umur yang akan menjadi korbannya pada seorang perempuan berinisial F. Setelah itu F menyanggupi dan membawakan anak seperti permintaan Fajar.

F akhirnya membawa anak di bawah umur tersebut ke sebuah hotel di Kupang yang telah dipesan oleh Fajar. Setelah melancarkan aksinya, F kemudian diberi bayaran senilai Rp3 juta.

Menurut penulis, kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yang melibatkan Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, telah memicu kecaman luas dari berbagai kalangan. Tindakan yang diduga dilakukan oleh seorang aparat penegak hukum ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap kepercayaan publik dan integritas institusi kepolisian.

 Baca Juga: Pelecehan Anak Oleh Oknum Polisi, Ke Mana Cari Perlindungan Jika Ruang Aman Menyesatkan?

Lebih jauh lagi, kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan kejahatan serius yang meninggalkan trauma mendalam bagi korban. Sayangnya, banyak kasus kekerasan seksual yang justru mengalami penanganan lambat oleh pihak kepolisian. Hal ini menimbulkan kekecewaan bagi korban dan keluarganya serta melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.

Salah satu faktor utama lambatnya penanganan adalah kurangnya kepekaan aparat terhadap kasus kekerasan seksual. Banyak laporan yang justru dipandang sebelah mata atau dianggap tidak terlalu mendesak. Dalam beberapa kasus, petugas kepolisian cenderung meragukan kesaksian korban, terutama jika korban masih anak-anak dan sulit mengungkapkan kejadian dengan jelas.

Bukan hanya itu, kasus kekerasan seksual terhadap anak sering kali menghadapi prosedur hukum yang panjang dan berbelit. Mulai dari tahap penyelidikan, visum yang harus dilakukan di rumah sakit tertentu, hingga pengumpulan bukti yang memakan waktu lama. Tidak jarang korban dan keluarganya harus menunggu berbulan-bulan hingga kasusnya mulai disidangkan.

KPAI Desak Negara Hadir atas Kasus Kekerasan Seksual yang Melibatkan Oknum Kepolisian

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bertekad untuk terus mengawal kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan tiga anak di bawah umur dan Kapolre Ngada, NTT. KPAI mendesak Direktorat PPAPPO Mabes Polri agar menangani kasus ini secara serius dan transparan sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Dian Sasmita, Anggota KPAI menegaskan bahwa pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. "KPAI menyoroti perlunya reformasi sistem pelindungan anak di Indonesia. Negara harus memastikan bahwa setiap anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan," ujar Dian Sasmita.

Selain memastikan pelaku mendapat hukuman yang setimpal, pihaknya juga menyoroti akan pentingnya pemulihan bagi korban, termasuk perlindungan dari kejahatan digital. Pemerintah daerah dan kementerian terkait juga harus hadir untuk memastikan keamanan serta pemenuhan hak restitusi korban selama proses hukum berlangsung. Rehabilitasi psikologis dan sosial yang komprehensif bagi korban melalui tenaga profesional juga menjadi aspek krusial dalam pemulihan mereka.

Kawan Puan, bagi penulis kasus yang melibatkan aparat penegak hukum selalu menjadi sorotan masyarakat hingga akhirnya memicu hilangnya rasa percaya. Bahkan, timbul pertanyaan di benak masyarakat apakah proses hukum yang melibatkan oknum kepolisian bisa berjalan dengan adil.

Baca Juga: Salah Tangkap Polisi: Keluarga Korban Pemerkosaan Cari Keadilan

Tidak jarang kasus yang melibatkan anggota kepolisian justru berakhir dengan hukuman ringan atau malah seakan 'kebal hukum'. Oleh karena itu, publik menuntut agar proses hukum dilakukan secara transparan tanpa 'drama-drama'.

Bukan hanya itu, kasus kekerasan seksual anak di bawah umur yang melibatkan Kapolres Ngada, NTT, AKBP Fajar Widyadharma Lukman ini juga semakin memperburuk citra kepolisian di mata masyarakat. Kejadian-kejadian serupa sebelumnya telah menurunkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Jika kasus ini tidak ditangani dengan serius, dikhawatirkan semakin banyak masyarakat yang merasa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

(*)



REKOMENDASI HARI INI

Dampak Psikologis Perempuan yang Menjadi Tulang Punggung Keluarga