Parapuan.co - Tradisi memberikan angpao saat Lebaran telah menjadi bagian dari perayaan Idulfitri di Indonesia. Rupanya, sejarah bagi-bagi uang atau angpao Lebaran bukan berasal dari Indonesia, lho.
Mengutip Kompas.com, sejarah berbagi angpao Lebaran bermula dari Kekhalifahan Fatimiyah di Afrika Utara pada Abad Pertengahan, di mana masyarakat membagikan uang, pakaian, atau permen kepada anak-anak dan masyarakat umum pada hari pertama Idulfitri.
Seiring waktu, tradisi ini berkembang menjadi pemberian uang tunai dalam lingkup keluarga, yang bertahan hingga hari ini. Mulanya, tujuan utama pemberian angpao adalah untuk mengajarkan anak-anak mengelola keuangan, memberikan penghargaan atas ibadah yang dijalankan selama Ramadan, dan menanamkan nilai berbagi.
Namun, di balik niat mulia tersebut, tradisi ini dapat menimbulkan tekanan finansial, terutama bagi perempuan yang sering kali bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan keluarga.
Bagaimana tidak, perempuan jadi harus berpikir untuk membuat pos pengeluaran khusus untuk angpao Lebaran yang diberikan kepada keponakan, tetangga, atau kerabat yang masih anak-anak.
Terkadang, tradisi ini jadi memicu persaingan karena merasa perlu memberikan uang dalam jumlah tertentu agar dianggap mampu secara finansial. Inilah yang bisa membuat keuangan perempuan semakin berat di Hari Raya Lebaran.
Oleh karenanya, perencana keuangan Metta Anggriani menekankan pentingnya menyesuaikan pemberian salam tempel atau angpao dengan kondisi keuangan masing-masing individu, sebagaimana dilansir dari Nakita.
Ia menyarankan alokasi sekitar 10 dari pendapatan untuk berbagi, namun angka ini tidak baku dan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan finansial setiap orang.
"Sebanyak 10 persen itu sudah cukup bagus untuk berbagi. Namun, artinya kembali lagi, persentase yang kita gunakan enggak baku lho. Karena persetanse orang beda-beda dan nominal pendapatannya juga berbeda-beda," kata Metta.
Baca Juga: Anak Dapat Angpao Imlek, Ajarkan Ini agar Paham Pentingnya Mengelola Uang Sejak Dini