Parapuan.co - Peringatan Hari Sindrom Down (Down Syndrome) Sedunia yang jatuh pada 21 Maret tahun ini mengusung tema utama "Improve Our Support System" atau "Tingkatkan Sistem Dukungan Kita". Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan dukungan untuk penguatan sistem dukungan yang dimaksud.
Komnas Perempuan melalui siaran pers yang dikutip PARAPUAN pada Sabtu (22/3/2025), menegaskan pentingnya penguatan sistem dukungan ini sebagai langkah fundamental agar individu dengan sindrom down, khususnya perempuan, dapat memperoleh penanganan menyeluruh terhadap kasus kekerasan seksual, akses terhadap layanan kesehatan yang memadai, pendidikan yang inklusif, serta kesempatan hidup yang setara dan adil.
Bahrul Fuad, Komisioner Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, menyoroti bahwa perempuan dengan sindrom down menghadapi berbagai lapisan kerentanan dalam mengalami kekerasan berbasis gender.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2024, tercatat 23 perempuan dengan disabilitas intelektual, termasuk perempuan dengan sindrom down, menjadi korban kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual.
"Perempuan dengan sindrom down menghadapi tantangan yang kompleks. Selain kondisi disabilitasnya, mereka juga terhambat oleh stigma sosial dan minimnya akses terhadap informasi yang memadai, terutama mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas. Hal ini semakin meningkatkan risiko mereka mengalami kekerasan berbasis gender," ujar Bahrul Fuad.
Lebih lanjut, Bahrul menjelaskan bahwa situasi ini dipicu oleh sejumlah faktor, seperti kuatnya stigma terhadap perempuan dengan disabilitas dan rendahnya pemahaman terkait kesehatan reproduksi serta seksualitas di kalangan individu dengan sindrom down.
Stigma ini tidak hanya menghambat akses perempuan dengan sindrom down terhadap informasi dan layanan penting, tetapi juga membuat mereka semakin rentan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual yang kerap tidak terungkap.
Rainy M. Hutabarat, Ketua Tim Advokasi Internasional Komnas Perempuan, menambahkan bahwa dalam penanganan kasus kekerasan seksual, perempuan korban dengan sindrom down sering kali menghadapi kesulitan karena aparat penegak hukum belum memiliki perspektif gender dan disabilitas.
"Selain itu, sistem pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan mereka belum tersedia secara optimal. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam menyampaikan pengalaman mereka, yang sering kali berujung pada keterangan yang dianggap tidak konsisten dan berdampak pada penghentian kasus atau penyelesaian melalui mekanisme damai," jelas Rainy.
Baca Juga: Pentingnya Pendanaan Organisasi Perempuan untuk Atasi Kekerasan Berbasis Gender
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa sistem pendampingan khusus bagi perempuan dengan sindrom down yang menjadi korban kekerasan seksual telah diatur dalam PERMA 3 Tahun 2017 serta PP No. 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
"Mengenali tanda-tanda kekerasan seksual pada perempuan dengan sindrom down sangat penting karena mereka tidak selalu dapat mengungkapkan pengalaman yang dialami. Sering kali, kehamilan yang tidak diinginkan baru diketahui setelah terjadi perubahan fisik pada korban," tambah Rainy.