Parapuan.co - Pemecatan Edy Meiyanto, guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), karena terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswanya, menjadi peristiwa penting yang harus dibaca sebagai momentum reformasi budaya kampus. Tindakan tegas ini menunjukkan bahwa jabatan akademik tinggi tidak boleh lagi menjadi tameng bagi pelaku kekerasan seksual.
Keputusan pemberhentian terhadap Edy Meiyanto diambil berdasarkan hasil pemeriksaan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM, yang menemukan adanya pelanggaran terhadap peraturan rektor dan kode etik dosen. Pemecatannya juga menjadi bentuk perlindungan terhadap korban yang sudah cukup lama menantikan keadilan.
Kronologi Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di UGM
Untuk lebih jelasnya terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan Edy Meiyanto (EM), berikut kronologinya sebagaimana dikutip dari Kompas.com:
- Tahun 2023–2024
Tindakan kekerasan seksual oleh EM terjadi secara berulang. Modusnya dengan pendekatan akademik, seperti bimbingan, diskusi, hingga pertemuan di luar kampus.
- Juli 2024
Salah satu mahasiswa korban melaporkan kasus tersebut ke Fakultas Farmasi. Setelah itu, UGM membentuk Komite Pemeriksa lewat Keputusan Rektor No. 750/UN1.P/KPT/HUKOR/2024.
- 12 Juli 2024
EM dibebastugaskan dari seluruh aktivitas Tri Dharma dan dicopot dari jabatan sebagai Ketua CCRC untuk menjaga ruang aman bagi korban.
- 1 Agustus – 31 Oktober 2024
Komite Pemeriksa melakukan penyelidikan. Sebanyak 13 korban dan saksi diperiksa. Pemeriksaan melibatkan pengumpulan bukti, mendengar keterangan pelaku dan korban secara terpisah.
- 20 Januari 2025
Rektor UGM menetapkan sanksi pemecatan tetap kepada EM melalui Keputusan Rektor Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025.
Baca Juga: LPSK Sebut Permohonan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Meningkat, Termasuk Kasus Agus