Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Dari Drama “Apple Cider Vinegar”: Pencarian Perhatian yang Jadi Kejahatan

Dr. Firman Kurniawan S. Kamis, 10 April 2025
Serial Netflix Apple Cider Vinegar.
Serial Netflix Apple Cider Vinegar. (Netflix)

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Mencari dan menerima perhatian, merupakan naluri eksistensial manusia. Sejak bayi lahir - bahkan di periode sebelumnya - perhatian jadi tanda pengakuan keberadaannya. Maka ketika itu tak ada, memunculkan kegelisahan yang tak dinyana.

Masih ingatkah film karya Sutradara Tom Tykwer yang beredar tahun 2006? Judulnya “Perfume: The Story of a Murderer”. Film ini mengisahkan kehidupan Jean-Baptiste Grenouille. Anak yang lahir dari Ibu miskin, penjual ikan di pasar becek Perancis abad ke-18.

Betapa miskinnya, kelahiran yang lazimnya disambut dengan kegemilangan benda-benda dan kegembiraan, tak dipersiapkan Sang Ibu. Grenouille lahir saat Sang Ibu berjualan di pasar. Itupun sambil memotong ikan yang hendak dijajakannya. Kejadiannya sangat cepat, tak ada yang memperhatikan. Menginspirasi Sang Ibu untuk melenyapkan bayi yang baru lahir. Ditinggalnya Sang Bayi begitu saja, bersama kotoran dan sisa potongan ikan di kolong lapak jualannya. Sejak lahir, Grenouille luput dari perhatian. Keberadaannya ditolak.

Namun bukan kemiskinan dan tindakan amoral yang jadi pusat pengisahan. Grenouille yang terabaikan, berkembang jadi genius dalam penciuman. Mengenali, memformulasi dan membuat bau-bauan. Ini kemudian diwujudkan jadi parfum yang dikenakan pada tubuhnya. Saat bau tubuh jadi petanda kehadiran, tubuhnya tak berbau apapun. Harum, sedap, bahkan bau busuk pun tak menguar. Menyadarkan keterabaiannya. Keterabaian yang mendorong perilaku penarik perhatian. Di ujung kisah, Grenouille berhasil memformulasi bau dari ekstrak tubuh manusia. Tentu saja dengan membunuh dulu sumber ekstraknya. Pembunuhan demi pembunuhan berlangsung, agar tercipta parfum dahsyat pengundang perhatian.

Memandang fenomena pencarian perhatian, bahkan hingga tingkat akut semacam film di atas, Wendy Wisner, 2024, dalam “What to Know About Attention-Seeking Behavior”, menyebut: pencarian perhatian adalah naluri manusia. Perhatian memberi rasa dianggap serius, bahkan dicintai. Namun di tingkat akut, dapat menciptakan masalah bagi diri sendiri maupun orang lain. Terutama saat pencariannya digerakkan oleh perasaan rendah diri, kecemburuan, kesepian, atau keadaan gangguan kejiwaan tertentu. Seluruhnya dapat berkembang jadi perilaku yang ekstrem, bahkan histeris.

Salah satu gejala perilaku pencarian perhatian yang dideskripsikan Wisner di atas, dapat diikuti kisahnya pada serial drama TV asal Australia, dan sedang hangat diperbincangkan. Serial itu berjudul Apple Cider Vinegar. Drama bergenre kriminal - karya Samantha Strauss dan disutradarai Jeffrey Walker ini - mengisahkan daya upaya Belle Gibson – diperankan oleh Kaitlyn Dever — untuk memperoleh perhatian luas khalayak.

Belle yang dikisahkan berprofesi sebagai influencer kesehatan, teratur memuat konten kisah hidupnya agar terbebas dari kanker otak stadium terminal. Keadaan terminal yang hanya memberinya kesempatan hidup 6 pekan hingga maksimal 4 bulan, sejak disampaikannya diagnosa hasil pemeriksaan. Nyatanya, Belle berhasil sembuh. Kesembuhan yang bukan oleh operasi pengangkatan organ, juga kemoterapi menjinakkan sel. Namun berhasil sembuh berkat pengobatan alternatif: mengkonsumsi makanan dan jus organik. Karenanya, untuk merayakan kesembuhan itu, Belle memuat resep dietnya yang dapat diakses lewat aplikasi dikembangkannya: The Whole Pantry.  

Kisah kegigihan Belle menempuh penyembuhan nonkonvensional, berikut kisah penderitaan yang dialaminya meraih simpati jutaan followers. Ini termasuk simpatisan pengidap penyakit sejenis. Kisah Belle membangkitkan inspirasi harapan hidup, tak kenal putus asa. Juga metode alternatif, yang tak selamanya mengandalkan pengetahuan kedokteran konvensional. Salah satu penggemarnya adalah Lucy, penderita kanker payudara yang mulai enggan menjalani pengobatan konvensional.

Baca Juga: Keluarga dan Institusi Tradisional, Pencegah Tersesatnya Gen Z di Belantara Pengetahuan

Kisah Belle berballik jadi tuduhan penipuan, saat kenalannya Chanelle - diperankan oleh Aisha Dee— mengalami rasa bersalah setelah memperkenalkan penderita kanker sejati pada Belle. Chanelle juga adalah sahabat Milla - diperankan Alycia Debnam-Carey - perempuan penderita kanker yang menempuh pengobatan lewat pengaturan diet. Kisah penyembuhan Milla inilah yang sesungguhnya jadi sumber inspirasi Belle saat mengaku sebagai penderita kanker otak.  

Rasa bersalah Chanelle, lantaran penderita kanker yang dikenalkan pada Belle terpengaruh pada seluruh saran kesehatan Belle. Chanelle berfirasat buruk soal Belle. Firasat yang mendorongnya menelusuri jejak digital Belle, membuktikan terjadinya penipuan. Dokter yang pernah disebut Belle mengkonfirmasi kebohongan itu, seraya turut menawarkan bantuan penyelidikan.

Seluruh kisah Apple Cider Vinegar ini mengkonstruksi realitas: sakit Belle tak lebih sekadar upaya mendulang perhatian khalayak luas. Perhatian yang bakal diberikan akibat penderitaan menanggung rasa sakit. Juga kapanpun terbukanya gerbang kematian Belle, tanpa persiapan yang layak. Pencarian perhatian seperti serial drama di atas, dalam kajian psikologi sosial disebut sebagai Munchausen Syndrom. Ini sering juga disebut sebagai ‘gangguan buatan yang dipaksakan pada diri sendiri’.

Cleveland Clinic lewat tulisannya yang diperbarui di tahun 2024, dengan judul “Factitious Disorder Imposed on Self (Formerly Known as Munchausen Syndrome)” menyebut gejala ini sebagai tindakan memalsukan, menciptakan, termasuk membesar-besarkan gejala penyakit yang sebenarnya tidak dialami seseorang.

Seluruhnya merupakan gejala kesehatan mental saat seseorang tampak sakit, berpura-pura merasakan gejala, atau sengaja membuat diri menjadi sakit. Tak tertutup pada tindakan yang menjadikan diri sendiri berkeadaan sakit, sindrom ini dapat dipaksakan pada pihak lain. Anak, orang tua, saudara, tetangga, yang tidak sakit digambarkan sedang sakit serius. Demikian seriusnya hingga mengundang perhatian khalayak luas. Perhatian khalayak inilah yang jadi tujuan akhirnya.

Bbc.com, 14 Desember 2017, berjudul “Texas Mother Suspected of Subjecting Son to 13 Surgeries”, memuat kisah orang tua yang memaksakan terjadinya sakit pada anak kandungnya. Sementara anaknya baik-baik saja. Dikisahkan, Kaylene Bowen, seorang Ibu di Texas, Amerika Serikat ditangkap otoritas penegak hukum negara itu, setelah mondar-mandir membawa anaknya ke rumah sakit. Bukan mondar mandir yang perlu, bahkan genting --yang jumlahnya mencapai 323 kali—tapi perilaku demonstratif, demi meyakinkan khalayak anaknya mengalami masalah kesehatan yang serius. Bahkan hingga perlu ditopang pemasok oksigen untuk pernapasan, dibantu kursi roda untuk bergerak, juga perangkat pemasok makanan. Tak cukup sampai di situ, upaya Bowen diperkuat dengan permintaan kepada rumah sakit untuk melakukan operasi besar. Bahkan jumlahnya mencapai 13 kali. Seluruh operasi itu sama sekali tak perlu.

Anak yang digambarkan sakit oleh Bowen, tak bermasalah apapun. Keadaan tak bermasalah ini, termuat dalam pernyataan pengadilan. Sang Anak hingga tiga kali menderita infeksi darah yang mengancam jiwa, saat memperoleh perawatan medis yang intensif. Sementara petugas medis menyimpulkan, tidak ada masalah pada anak itu. Dari seluruh rangkaian peristiwanya, Kaylene Bowen diduga mengidap Munchausen by Proxy (MSbP). Gejalanya yang relevan, saat seseorang berulang-ulang mengemukakan masalah kesehatan, dengan tujuan diperolehnya perhatian. Akibat sindrom itu, Kaylene Bowen ditahan di penjara Dallas County, dengan tuduhan: perbuatan yang mengakibatkan cedera pada anak. Tentu saja bukan sekedar cedera fisik, mental Sang Anak pun terguncang. Itu menyebabkan hak asuh Bowen dicabut pengadilan.

Kerap mengemukanya gejala Sindrom Munchausen, tak lepas dari peran media sosial. Artikel yang ditulis CBS News, 21 Juli 2014: “Social Media Fuels Munchausen by Proxy, Experts Say”, menyebut media sosial memicu Munchausen by proxy. Seluruhnya terjadi, ketika pengasuh dengan sengaja menyakiti anak-anak, yang kemudian menikmati perhatian dan simpati khalayak dengan diperantarai media sosial. Realitas yang diperburuk oleh hadirnya teknologi digital itu, juga dikonfirmasi Dr. Marc Feldman.

Baca Juga: Bebaskan Diri dari Kecanduan Media Sosial: Ini Manfaat Digital Detox

Marc Feldman adalah psikiater dan konsultan forensik, yang menerapkan pengetahuannya di Birmingham, Alabama AS. Pada buku yang diterbitkannya di tahun 2004: "Playing Sick", ia mempercayai, internet telah berkontribusi terhadap sejumlah kasus Munchausen by proxy. Kejadiannya mencapai lebih dari 600 kasus per tahun di AS. Dengan pemicu utama: keinginan memperoleh perhatian.

Seluruh ilustrasi di atas kemudian jadi tak asing, saat dikaitkan dengan konsep Attention Economy yang dikemukakan peraih Nobel Ekonomi, Herbert A. Simon. Disebutkannya: kehadiran teknologi digital yang menyebabkan membanjirnya informasi, justru menyebabkan langkanya perhatian. Perhatian hari ini jadi komoditas yang mahal. Akibat sulit diperoleh. Karenanya jadi model ekonomi baru, meraih pertumbuhan ekonomi.

Benar, perhatian yang kian sulit diperoleh di zaman media digital itu, bahkan harus diperoleh dengan memalsukan status kesehatan. Semua demi diraupnya perhatian dan simpati. Tampak di sini, mencari perhatian kadang-kadang berubah jadi kejahatan. Tak perlu seperti itu, kan?

(*)