Sisterhood atau Saingan? Bongkar Budaya Kompetisi di Antara Perempuan

Tim Parapuan - Senin, 28 April 2025
Bongkar budaya kompetisi di antara perempuan.
Bongkar budaya kompetisi di antara perempuan. (Freepik)

Parapuan.co - Pernahkah kamu merasa sulit ikut bahagia saat temanmu berhasil mendapat promosi, menikah, hamil, atau sekadar terlihat lebih glowing di media sosial? Mungkin kamu pernah merasa bersalah atas rasa itu, lalu buru-buru menutupi dengan senyum dan ucapan selamat.

Namun rasa sempit di dada itu tetap tinggal dan mengendap. Di balik wajah saling mendukung, perempuan sering menyembunyikan rasa takut akan tertinggal, takut kalah, dam takut tidak cukup.

Budaya kompetisi antarperempuan adalah warisan sosial yang halus, sering tak terlihat, namun dampaknya sangat nyata. Banyak dari kita diajarkan untuk menjadi “perempuan ideal” sejak kecil, tetapi definisi ideal itu hanya meliputi cantik, pintar, sopan, berhasil, dan disukai banyak orang. Dan ketika satu perempuan berhasil memenuhi itu semua, perempuan lain seolah menjadi kalah.

Hal ini bukan tentang iri semata, tetapi tentang bagaimana masyarakat menanamkan scarcity mindset ke dalam benak perempuan, seolah-olah ruang untuk sukses, cinta, dan validasi hanya tersedia dalam jumlah terbatas.

Scarcity mindset merupakan pola pikir yang didasari oleh ketakutan akan kekurangan, di mana seseorang terus merasa bahwa sumber daya seperti uang, waktu, atau peluang selalu terbatas dan tidak pernah cukup. Orang dengan scarcity mindset cenderung fokus pada apa yang kurang dalam hidupnya, sehingga sulit untuk merasa puas atau mengambil keputusan secara jernih.

Dari kecil kita dipuji jika “lebih cantik dari kakakmu”, dibandingkan dengan teman sekelas, atau diberi contoh perempuan lain yang lebih menurut. Tanpa sadar, kita tumbuh dengan keyakinan bahwa perempuan lain adalah cermin untuk mengukur kekurangan diri sendiri.

Sebuah penelitian dari National Libarary of Medicine mengungkap bahwa perempuan cenderung menunjukkan agresi tidak langsung, seperti gosip atau pengucilan sosial terhadap perempuan lain yang dianggap sebagai kompetitor, terutama dalam hal status sosial atau daya tarik.

Pola ini sering muncul bukan karena niat jahat, tapi karena perempuan diajarkan untuk tidak konfrontatif secara langsung, sehingga kompetisi menjadi terselubung dan emosional.

Fenomena ini juga tampak dalam dunia kerja, dikenal sebagai Queen Bee Syndrome. Queen bee syndrome sendiri merupakan fenomena di mana perempuan yang telah mencapai posisi tinggi dalam karier atau lingkungan sosial justru menunjukkan sikap kurang mendukung, atau bahkan menjatuhkan perempuan lain yang sedang berusaha naik.

Baca Juga: Mompetition, Mengapa Ibu Saling Berkompetisi untuk Urusan Parenting?

Penulis:
Editor: Citra Narada Putri