Gaji Rendah Bukan Alasan Utama Orang Meninggalkan Pekerjaan, Lalu Apa?

Arintha Widya - Rabu, 23 April 2025
Ternyata gaji bukan alasan utama seseorang meninggalkan pekerjaan.
Ternyata gaji bukan alasan utama seseorang meninggalkan pekerjaan. Freepik

Parapuan.co - Banyak yang mengira bahwa gaji besar adalah kunci utama seseorang betah di tempat kerja. Kawan Puan mungkin juga menyangka demikian. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Bagi sebagian orang, tawaran gaji tinggi justru tak cukup menggoda ketika dibarengi dengan tuntutan kerja yang mengekang dan tidak manusiawi.

Seorang jurnalis e-commerce seperti mengutip Your Tango, berbagi pengalamannya ketika ditawari posisi senior dengan gaji hingga Rp2,2 miliar per tahun. Angkanya memang menggiurkan, tapi isi deskripsi pekerjaan membuatnya mundur perlahan.

Alih-alih tertarik, ia justru merasa jengah membaca istilah-istilah umum yang sering dipakai perusahaan seperti: "multitasking", "lingkungan kerja cepat dan kolaboratif", hingga "kebijakan hybrid berbasis budaya".

Baginya, semua itu hanyalah kamuflase dari ekspektasi kerja yang tak masuk akal. "Saya bisa saja melakukan pekerjaan itu. Tapi saya tidak mau," ungkapnya tegas.

Menurutnya, istilah "peran senior" sering kali berarti semua kesalahan tim akan dibebankan padamu. "Memakai banyak topi" biasanya berarti siap-siap diminta melakukan pekerjaan di luar tanggung jawab. Sementara "cuti tak terbatas" bisa saja hanya iming-iming di atas kertas—sebab kenyataannya kamu akan terlalu sibuk hingga tak sempat mengambil cuti.

Bukan Gaji yang Membuat Bertahan, Tapi Rasa Memiliki Kendali

Penulis ini bukan tipe pemalas. Ia bangun pukul enam pagi setiap hari, bahkan di akhir pekan, dan bekerja hingga 12 jam sehari demi menyelesaikan berbagai proyeknya. Tapi satu hal yang membuatnya tetap semangat adalah kebebasan untuk bekerja sesuai ritme dan caranya sendiri.

Fakta menariknya, riset mendukung pernyataannya. Dalam buku Captivate karya Vanessa Van Edwards disebutkan bahwa 88 persen manajer yakin uang adalah alasan utama orang resign.

Padahal, hanya 12 persen karyawan yang benar-benar keluar karena alasan finansial—sisanya karena kepuasan kerja. "Kepuasan kerja jauh lebih berpengaruh dibandingkan besarnya gaji," tulis Vanessa dalam bukunya.

Baca Juga: Penyebab Fenomena Resign setelah Lebaran Menurut Talent Acquisition

Studi lain menunjukkan, 59 persen pekerja lebih memilih fleksibilitas daripada gaji tinggi, dan 77 persen lebih memilih kebijakan kerja dari mana saja ketimbang kantor mewah. Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang dewasa hanya ingin dipercaya: memilih tempat kerja, mengatur waktu sendiri, dan menyelesaikan pekerjaan tanpa harus diawasi seperti anak sekolah.

Pandemi Mengubah Segalanya—Tapi Tak Semua Perusahaan Mau Berubah

Selama pandemi, banyak pekerja mencicipi kenikmatan bekerja dari rumah. Mereka mulai menyadari bahwa produktivitas tidak ditentukan oleh kursi kantor, melainkan oleh ruang untuk bernapas dan membuat keputusan sendiri.

Sayangnya, banyak perusahaan tetap bersikeras mempertahankan sistem kerja lama. Mereka membanjiri karyawan dengan meeting daring yang tak perlu, yang justru membuat banyak orang makin tidak produktif.

Meski sekarang sebagian besar kantor sudah beroperasi kembali, kenyataannya tiga dari empat rapat dianggap buang-buang waktu. Tapi taktik "hadir fisik" ini tetap dilanjutkan, seolah-olah keberadaan seseorang di kursi kantor adalah satu-satunya ukuran loyalitas dan kinerja.

Tak heran jika banyak perusahaan kini kewalahan mempertahankan karyawan. Tingkat pergantian pekerja mencapai rekor tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, sahabat si penulis artikel mengaku terus-menerus dihubungi oleh recruiter—bahkan setelah ia menarik lamaran karena kebijakan kerja full office yang terlalu kaku.

Memilih Waras Daripada Sekadar Kaya

Selama hampir satu dekade, penulis telah hidup dan bekerja secara mandiri. Ia menyusun sendiri jadwalnya, menolak rapat yang tidak penting, dan telah bekerja dari rumah jauh sebelum pandemi dimulai.

"Saya bisa mencuci pakaian di antara tugas, ikut terapi daring saat jam makan siang, dan bekerja maksimal di pagi hari sebelum email berdatangan," tulisnya.

Baginya, kesehatan mental dan kebebasan memilih jauh lebih berharga daripada blazer mahal, macet setiap pagi, atau kue ultah di ruang istirahat kantor.

"Saya lebih rela menerima gaji lebih kecil, asalkan diperlakukan seperti orang dewasa yang dipercaya bisa menyelesaikan pekerjaannya sendiri," katanya lagi.

Baca Juga: Resign setelah Lebaran, Manfaatkan ChatGPT untuk Berburu Pekerjaan dengan Prompt Ini

(*)

Sumber: Your Tango
Penulis:
Editor: Arintha Widya