Parapuan.co - Kawan Puan, kecemasan (anxiety) dan depresi bukan sekadar istilah populer yang sering muncul di media sosial atau percakapan sehari-hari. Keduanya merupakan kondisi psikologis yang nyata dan bisa memengaruhi siapa saja—terutama ketika tidak disadari sejak awal.
Dalam sebuah diskusi di Arisan Parapuan bertajuk "When Life Gives You Issues: Perempuan Berani Bicara Kecemasan" di Kartini Kini 2025, Rabu (24/4/2025), PARAPUAN menghadirkan psikolog Nurfitriyanti Permata P. dari KALM untuk membahas mengenai kecemasan dan depresi pada perempuan.
Dari diskusi Arisan Parapuan tersebut, terungkap berbagai perspektif menarik seputar bagaimana mengenali serta memahami kecemasan dan depresi, khususnya dari sudut pandang psikolog.
Ketika Emosi Terabaikan karena Stigma Sosial
Psikolog Nurfitriyanti Permata menjelaskan bahwa banyak orang, terutama perempuan, kerap menahan perasaannya demi peran sosial yang melekat padanya. Sebagian besar dari mereka mengabaikan kecemasan yang dirasakan karena khawatir dengan stigma sosial.
"Kebanyakan justru yang membuat perempuan atau apalagi yang sudah punya peran ganda ya, dobel nih, sebagai ibu, sebagai pekerja, dan lain-lain begitu, sering kali yang membuat mereka terhenti adalah justru dari lingkungan terdekatnya," ungkap Nurfitriyanti.
"Di mana soalnya kemarin enggak apa-apa. Sehingga kadang-kadang kita mau mencari bantuan kita jadi nilai lagi jangan-jangan iya saya yang salah. Oh iya perasaan saya ini enggak valid, jangan-jangan memang sebetulnya saya yang gak belajar gitu," imbuhnya.
Nurfitriyanti juga menjelaskan, "Jadi stigma-stigma di luar keraguan-keraguan itu membuat kita juga akhirnya ragu untuk mencari bantuan apakah iya saya sudah seburuk itu, apakah iya saya sudah sejauh itu."
Gejala Emosional dan Kognitif
Baca Juga: Manfaat Olahraga Sebelum Tidur, Mengurangi Stres dan Kecemasan
Dari sisi emosional, individu yang mengalami kecemasan atau depresi biasanya menunjukkan lonjakan emosi yang tidak stabil. “Mungkin awalnya hanya mudah marah, tapi lama-lama marahnya menjadi lebih sering dan intens—bahkan sampai membanting barang,” kata Putri.
Secara kognitif, dampaknya bisa sangat signifikan. Mereka akan merasa sulit berkonsentrasi, bingung dalam mengambil keputusan, dan merasa mentok dalam menyelesaikan masalah.
Namun, penyangkalan terhadap emosi ini justru bisa menjadi pemicu kondisi yang lebih serius. Gejala awal yang sering diabaikan antara lain sulit tidur, penurunan nafsu makan, atau sebaliknya, makan berlebihan, dan sebagainya.
"Secara fisik mungkin diantaranya ada yang mulai merasakan susah tidur atau yang paling sering adalah, misalnya nafsu makan itu berkurang, pada aspek-aspek tertentu kita lebih sering untuk gemetar, entah apakah jantungnya berdegup kencang atau mungkin tangannya tiba-tiba berkeringat. Atau yang paling sering terjadi yang saya tangani kebanyakan orang tidak akan pernah sadar bahwa mereka memiliki isu tertentu sebelum adanya keluhan fisik yang intens, seperti GERD atau vertigo atau migrain, yang biasanya itu kayaknya biasa aja," terang Nurfitriyanti.
Perempuan Lebih Rentan Alami Anxiety dan Depresi?
Pertanyaan tentang apakah perempuan lebih rentan mengalami kecemasan dan depresi pun mengemuka. Dijelaskan bahwa memang ada perbedaan secara biologis dan sosial antara laki-laki dan perempuan.
"Pada bagian otak tertentu untuk perempuan yang mengontrol fungsi emosi memang lebih besar dibandingkan laki-laki. Bedanya, kalau perempuan mungkin terekspresikan, jadi kelihatannya oh dia pencemas, oh dia pemarah. Tapi laki-laki mungkin justru lebih dipendam, jadi enggak terlalu kelihatan," jelas Nurfitriyanti dalam Arisan Parapuan di Kartini Kini 2025.
"Yang paling membedakan antara perempuan dan laki-laki ketika mengalami depresi dan kecemasan adalah, kalau perempuan akan lebih banyak melihat terkait dengan perubahan-perubahan emosi dan afeksi. Afeksi itu mungkin kayak yang tadinya bisa mandiri tiba-tiba pengennya ditemenin, dependen. Atau mungkin lebih tadi emosinya lebih fluktuatif atau mungkin lebih eksplosif. Pada laki-laki biasanya yang paling terlihat adalah kesulitan untuk membuat keputusan secara kognitifnya, itu terhambat di jalur untuk bisa berpikir rasional," imbuhnya.
Kapan Harus Mencari Bantuan Profesional?
Baca Juga: Talkshow Arisan Parapuan, Mengupas Kecemasan dan Depresi Perempuan
Mungkin yang paling penting dari diskusi ini adalah bagaimana mengenali kapan seseorang sudah membutuhkan bantuan profesional. "Setiap kondisi psikologis itu berada dalam sebuah kontinum. Bisa naik, bisa turun. Tapi kalau sudah sampai titik di mana fungsi sehari-hari terganggu—seperti kehilangan energi, tidak bisa menjalankan aktivitas rutin, atau bahkan merasa putus asa—itu sudah jadi tanda serius," terang Nurfitriyanti.
Ia menyebutkan bahwa kehilangan minat terhadap hobi, menarik diri dari lingkungan sosial, serta perasaan terus-menerus bahwa :tidak ada yang bisa membantu" adalah sinyal bahwa seseorang harus segera mencari pertolongan profesional.
Kecemasan dan depresi bukanlah tanda kelemahan. Sebaliknya, mengenalinya dan berani mencari bantuan justru adalah bentuk kekuatan. Dalam komunitas dan ruang-ruang diskusi seperti ini, kita diingatkan kembali bahwa kita tidak sendirian—dan bahwa meminta bantuan adalah langkah pertama menuju pemulihan.
"Yang penting, jangan anggap biasa perubahan yang terasa drastis. Baik itu soal tidur, makan, emosi, atau semangat hidup. Karena bisa jadi, itu adalah cara tubuh kita meminta perhatian," tutup Putri.
(*)