Oleh sebab itu, orangtua zaman dulu senang dan bangga saat anak perempuannya banyak dilamar, karena ingin terhindar dari sebutan perawan tua.
Meski demikian, menurut Bambang seharusnya pernikahan dilakukan saat usia perempuan sudah ideal bukan di bawah umur.
Bambang pun menjelaskan kalau adanya stigma perawan tua sama dengan merendahkan seorang perempuan.
Menakuti Perempuan
Padahal keputusan menikah merupakan hak pilihan individu yang seharusnya diputuskan oleh perempuan.
“Untuk mengurangi stigma itu, saya kira harus ada edukasi dalam masyarakat bahwa menikah itu keputusan yang sifatnya pribadi. Jangan mengurus urusan, hak, privasi orang lain. Kalau itu bisa diinternalisasikan dalam keluarga, dalam masyarakat, orang tidak perlu bertanya, ‘Sudah menikah belum? Anaknya sudah berapa?’ karena itu pertanyaan yang sangat pribadi,’ pungkas Bambang.
Senada dengan Bambang, Rose Mini Agoes Salim psikolog anak menilai bahwa stigma perawan tua merupakan sebuah istilah yang dipakai untuk menakuti orang lain.
Rasa takut ini disebabkan karena perilaku masyarakat tempat perempuan tinggal.
Bila seorang perempuan tinggal dengan masyarakat yang sudah terbiasa menikah muda, istilah ini pun akan dipakai untuk menakuti perempuan.
“Jadi, kalau keluar dari rata-rata itu, maka kemudian menjadi suatu ketakutan sendiri. Sebetulnya tidak ada data otentik yang mengatakan mereka itu menjadi perawan tua. Sampai usia berapa sebetulnya? Kan tidak pasti,” ujar psikolog yang biasa disapa Bunda Romi ini.